anchor
stringlengths 99
27.2k
| positive
stringlengths 297
27.2k
| negative
stringclasses 672
values |
---|---|---|
Judul: Sustainability of pelagic fisheries in ternate and its development strategies
Abstrak:RAPFISH on the pelagic fisheris of Ternate indicates that it has fair suistainability state for ecology, economy, and social dimensions (index of 50-75), and less sustainability state for technology and law/institute dimesions (index of 25-50). Attributes that influence suistainability indexes for each dimensions are the length og migration, range collapse, and catch of pre-mature fish (ecology), limited entry regime, market right, and alternative incomes (economy), fishing sector, fishers influence on decision making process, and conflicts (social), post harvest processing, gear selectivity, and use of FAD's (technology), and fishers participation in policy determination, and illegal fishing (law and institute). AHP on the fisheries suggested a number of policies to overcome weaknesses in fisheries management: (1) development of law and institutional capacity, (2) improvement of marketing system, (3) improvement of fishing productivity and efficiency, (4) improvement of community welfare, and (5) application of environmentally friendly fishing technology.
Keyword:RAPFISH | Judul: Study of Purse Seine Fishery and its Sustainability Status in Manado City Region Using Systemic Feedback Modeling
Abstrak:Keberlanjutan perikanan merupakan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan yang menjamin pemenuhan kebutuhan secara terns menerus.
Sementara perkembangan hasil tangkapan ditentukan oleh umpan balik sistemis
antara unsur sumber daya ikan dan unsur upaya tangkap yang dioperasikan.
Dalam penelitian ini, status keberlanjutan perikanan pukat cincin di daerah Kota
Manado ditelaah melalui dimensi-dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi,
dan etika dengan menerapkan teknik RAPFISH. Di samping itu, perkembangan
hasil tangkapan dari perikanan ini dianalisis melalui model umpan balik sistemis.
Ordinasi status keberlanjutan perikanan pukat cincin temyata bervariasi
nilainya menurut dimensinya, di antara 32.9 dan 78.8. Secara rata-rata semua
dimensi, posisi perikanan ini ditunjukkan berada 53% dari status keberlanjutan
yang tergolong baik. Pengembangannya berpeluang dilakukan melalui perbaikan
k:ualitas atribut-atribut keberlanjutan perikanan seperti: upah rata-rata dan proporsi
pekerjaan (ekonomi), sosialisasi penangkapan dan partisipasi keluarga (sosial),
selektivitas alat tangkap dan kemampuan menangkap (teknologi), pilihan
perikanan dan ketepatan pengelolaan (etika).
Melalui penerapan upaya tangkap optimum, perilaku model yang semula
berfluktuasi akan selanjutnya meningkat mulus menuju ke jumlah yang relatif
konstan. Uji sensitivitas model menunjukkan peubah model berupa efisiensi
panen, kapasitas stok, dan status keberlanjutan perikanan yang ditingkatkan secara
tunggal dan/atau kombinasi, berpeluang menambah hasil tangkapan sekaligus
nilainya. Dengan demikian, kebijakan umum yang dapat dipertimbangkan untuk
pengembangan perikanan ini mencakup: peningkatan efisiensi panen, peningkatan
kapasitas stok, dan perbaikan status keberlanjutan. Selain itu, standardisasi
atribut-atribut keberlanjutan perikanan menurut alat tangkap dan sosialisasinya
bagi semua pihak, disarankan untuk dilakukan, Fisheries sustainability is management and the utilization of fish resources
which can guarantee the availability of that resources continuously. Meanwhile,
the progress of catch is determined by systemic feedback between fish resources
components and fishing effort components. In this research, the sustainability
status of purse seine fishery in Manado was examined through ecological,
economic, sociological, technological, and ethical approaches by employing
RAPFISH technique. Moreover, the performance of the catch of this fishery was
analyzed using systemic feedback model.
The status of the purse seine fishery in this region was 53% of the fisheries
sustainability which is classified as good fisheries. Improvement of this status can
be done by improving several attributes qualities, among others: wage and sector
employment (economy); socialization of fishing and kin participation (social);
selective gear and catching power (technology); alternatives and just management
(ethics).
Through the application of optimal fishing effort, the behavior model that
previously shown fluctuated in catch, was then increased to a relatively constant
number. From sensitivity analysis, it was found that variable model such as
harvest efficiency, stock capacity, and sustainability status which had been
increased by itself and/or in combination, has the possibility to improve the catch
and its value. By looking at those, the most possible thing to do to improve the
fishery is through increasing the efficiency of harvest, stock capacity, and also the
improvement of sustainability status. Beside that, standardization of fisheries
sustainability attributes according to fishing gears which then followed by
socialization of their use to the community, is also suggested.
Keyword:sustainability, fisheries status, purse seine, catch model | Judul: Aktivitas Antidiabetes Zat Ekstraktif Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) dan Samama (A. macrophyllus (Roxb.) Havil).
Abstrak:Diabetes merupakan penyakit gangguan metabolik yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit diabetes ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah yang disebabkan karena kerusakan sel pankreas dalam produksi insulin atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan hormon insulin. Adanya kecenderungan jumlah penderita diabetes yang semakin meningkat, penggunaan obat diabetes berbasis bahan kimia sintetis yang menimbulkan berbagai efek samping serta biaya pengobatan yang semakin mahal maka perlu upaya untuk menemukan dan mengembangkan obat antidiabetes dari bahan alam tumbuhan yang relatif lebih murah dan aman. Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq dan samama (A. macrophyllus (Roxb.) Havil) merupakan jenis pohon cepat tumbuh yang berpotensi sebagai sumber obat alam antidiabetes. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan aktivitas antidiabetes ekstrak etanol berbagai bagian pohon jabon dan samama (daun, kulit, dan kayu) melalui uji penghambatan enzim α-glukosidase secara in vitro, mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa aktif antidiabetes dari ekstrak etanol teraktif jabon dan samama, mengkarakterisasi karbon aktif hidro kayu jabon dan samama serta menentukan aktivitas antidiabetes ekstrak etanol teraktif dan karbon aktif hidro jabon dan samama melalui pengujian secara in vivo.
Hasil penapisan berbagai bagian pohon (daun, kulit, dan kayu) tanaman jabon dan samama menunjukkan bahwa ekstrak etanol 95% daun jabon dan kulit samama merupakan ekstrak teraktif yang mampu menghambat enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 masing-masing sebesar 7.24 μg mL-1 dan 5.86 μg mL-1. Kadar ekstrak etanol daun jabon dan kulit samama masing-masing sebesar 16.50% dan 12.87%. Analisis fitokimia kualitatif ekstrak etanol daun jabon mendeteksi kuat keberadaan kelompok senyawa seperti flavonoid, hidrokuinon, tanin, dan kumarin. Ekstrak etanol kulit samama terdeteksi kuat mengandung kelompok senyawa flavonoid, saponin, tanin, dan kumarin. Kelompok senyawa tersebut diduga berperan dalam tingginya aktivitas antidiabetes ekstrak etanol daun jabon dan kulit samama.
Partisi bertingkat ekstrak etanol daun jabon dan kulit samama menggunakan pelarut n-heksana dan etil asetat memperoleh 3 fraksi yaitu fraksi n-heksana, etil asetat, dan residu. Uji penghambatan enzim α-glukosidase secara in vitro menunjukkan bahwa fraksi etil asetat merupakan fraksi teraktif dengan nilai IC50 masing-masing 7.34 μg mL-1 untuk daun jabon dan 6.82 μg mL-1 untuk kulit samama. Kadar fraksi etil asetat daun jabon dan kulit samama masing-masing sebesar 33.28% dan 30.97%. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif antidiabetes dari fraksi etil asetat daun jabon dan kulit samama mendapatkan senyawa turunan kumarin yaitu skopoletin dengan rumus kimia C10H8O4 dan berat molekul 192. Senyawa skopoletin dari daun jabon dan kulit samama tersebut mampu menghambat aktivitas enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 masing-masing sebesar 13.16 μg mL-1 dan 13.37 μg mL-1.
Karbon aktif hidro kayu jabon dan samama merupakan produk bahan alam selain ekstraktif yang berpotensi memiliki aktivitas antidiabetes. Pembuatan karbon aktif hidro kayu jabon dan samama menggunakan proses karbonisasi hidrotermal pada suhu 200 oC serta aktivasi kimia KOH dan uap air pada suhu 800 oC menghasilkan karbon aktif hidro dengan kualitas yang telah memenuhi standar SNI 06-3730-1995. Proses aktivasi dengan KOH dan uap air mampu menghasilkan karbon aktif hidro dengan porositas cukup tinggi. Karbon aktif hidro jabon memiliki luas permukaan 1068 m2 g-1, diameter pori rata-rata 2.36 nm,dan volume pori 0.63 cc g-1, sedangkan karbon aktif hidro samama memiliki luas permukaan 1284 m2 g-1, diameter pori rata-rata 2.26 nm, dan volume pori 0.72 cc g-1. Berdasarkan pengujian in vitro daya jerap glukosa, karbon aktif hidro jabon dan samama mampu menjerap glukosa masing-masing sebesar 199.48 mg g-1 dan 201.53 mg g-1. Kedua karbon aktif hidro tersebut berpotensi sebagai agen antidiabetes untuk menurunkan kadar glukosa darah.
Hasil pengujian aktivitas antidiabetes secara in vivo menunjukkan bahwa baik ekstrak etanol maupun karbon aktif hidro jabon dan samama memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar glukosa darah pada hewan percobaan tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin dosis 65 mg kg-1 bb. Ekstrak etanol daun jabon dan samama dosis 500 mg kg-1 bb mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus masing-masing sebesar 26.61% dan 25.82%. Karbon aktif hidro kayu jabon dan samama dosis 800 mg kg-1 bb mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus masing-masing sebesar 27.25% dan 28.93%. Kombinasi antara ekstrak aktif dan karbon aktif hidro memberikan hasil penurunan yang relatif lebih besar dibandingkan pemberian ekstrak aktif dan karbon aktif hidro secara dosis tunggal. Perlakuan kombinasi ekstrak etanol daun jabon dan karbon aktif hidro kayu jabon mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebesar 30.85%, sedangkan perlakuan kombinasi ekstrak etanol kulit samama dan karbon aktif hidro kayu samama mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebesar 31.60%.
Tanaman jabon dan samama mengandung senyawa aktif antidiabetes skopoletin dan dapat menghasilkan karbon aktif hidro yang memiliki aktivitas antidiabetes. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi penting untuk pengembangan obat antidiabetes berbahan dasar alam.
Keyword:alfa-glukosidase, ekstraktif, jabon, samama, karbon aktif hidro, skopoletin |
Judul: The model of capture fisheries management in the area of Bali Strait
Abstrak:The fisheries activity was being prime mover (around 80%) of the fishermen and the society economic in the area of Bali Strait. However, it would be very much trivial if the potency was not well managed and unable to give the prosperity for the fishermen society. The research purposes were to determine the level of fishermen prosperity, to forecast the production of major catch of fishes, to determine the level of fisheries business feasibility, to formulate the management of the capacity building for strategy of fisheries resources, and to build the management model of the area that guarantees the sustainability of fisheries development. The method used consisted of the level of prosperity analysis, forecasting analysis, business feasibility analysis, strategy analysis by using AHP, and model analysis by using SEM. The results of analysis showed that the level of fishermen prosperity in the area of Bali Strait was ‘moderate’ (total score=25.80). The production of lemuru tended to increase within the last several years and at the year of 2010 was forecasted to decrease 44,899.13 tonnes. The production of tongkol tended to decrease, and at the year of 2010 was forecasted to reach 2,035.30 tonnes. The production of layang also tended to decrease, and at the year of 2010 was forecasted to reach 1,967.01 tonnes. As the dominant fisheries business, purse seine one boat system (OBS), purse seine two boat system (TBS), gill net and ‘payang’ were very feasible to be developed in the area indicatively the values, NPV>1, IRR>6.25, ROI>1, and B/C Ratio>1. The development managed by the spesific institution establised by local governments (RK=0.284) was the right strategy of capacity building in order to manage the fisheries resources in the area. This specific institution roled to organize the fisheries resources conservation programs, to regulate the exploitation of fisheries resources based on local governments policy (SKB), to supervise selling price and fishing gears operation periodically, to provide the information centre of job opportunity and the vocational centre, and to facilitate the local revenue planning of the sector of fisheries. The management model of the area developed could fit some criteria such as goodness of fit (Chi-square, signifance probability, RMSEA, GFI, AGFI, CMIN/DF, TLI, dan CFII). The results of analysis of the model showed that some concerned components for sustainability guarantee of fisheries development in the area required were local market performance, export market performance, product supply of processing industry to the market, biodiversity, prosperity of fishermen, work force absorption of capture fisheries business and industry, growth of capture fisheries business, income of processing industry and tax.
Keyword: | Judul: Model of management of capture fisheries area in Banten Bay
Abstrak:Banten Bay is area which quite rapid development for many activities. Industrial waste disposal, domestic, over fishing, coral exploitation, reclamation, vessel traffic, and environmental damage, cause interest multi sector conflict in managing sea area. General objective of the research is to create model of management of sustainable capture fisheries area in Banten Bay. The specific objectives are to (1) determine utilization status and development prospect of capture fisheries; (2) determine leading commodity; (3) determine environmentally friendly fishing gears, (4) establish utilization zone; (5) arrange policy strategy in managing capture fisheries; and (6) simulate of model of management of capture fisheries. Evaluating utilization status and development prospect of capture fisheries was conducted using surplus production method with bionomic model. Determination of leading commodity was conducted with LQ value, IS, and descriptive method. Environmental and sustainable fishing gear was analyzed using CCRF criteria with scoring method approach. Zoning of capture fisheries area utilization was conducted by GIS. Management strategy of capture fisheries area was conducted with SWOT and AHP. Simulate of model of management of capture fisheries was conducted with LGP and model simulation of sustainable fish resources and salary fisherman. The result showed that utilization status and development prospect of capture fisheries in Banten Bay can still be developed for 9 species from 23 species. Squid, anchovy, and crab were commodities with high comparative advantages. Hand line, boat lift net, and gillnet were environmentally fishing gears. Zoning of Banten Bay utilization are consist of aquaculture, recreation, conservation, capture fisheries, fishing port, and industrial zone. Zone of capture fisheries was composed base on fishing ground eligibility indicator, suitability of fishing gear with fishing ground, minimum of conflict potency, availability of infrastructure, and environmental carrying capacity. Capture fisheries zone is divided into three zones, that are (i) passive zone, (ii) passive and outboard fishing boat zone, (iii) active and inboard fishing boat zone. Based on LGP analysis, maximum catch was 1.747,259 ton/year, alocation for fishing gear of gillnet, danish seine net, set lift net, boat lift net, boat seine, hand line, guiding barrier trap, and monofilament gillnet were 3, 11, 11, 6, 2, 5, 0 and 0 unit, respectively. The proposed strategy in managing Banten Bay area were (1) utilization strategic location of Banten Bay with optimalization leading commodity for providing fish demand; (2) taking advantage of high availability of human resources and fisherman concern to manage capture fisheries area; (3) utilization local government support and regional autonomy to make policy in structuring and expansion of fishing area and involving coastal communities in the management. Model of management of capture fisheries area in Banten Bay can be increase of salary fisherman as much as 25% from first scenario and take care of sustainable fish resources the periode of time 18 years.
Keyword: | Judul: Expression of pathogen responsive genes toward Corynespora cassiicola in rubber plant (Hevea brasiliensis Muell. Arg.)
Abstrak:Leaf fall disease caused by Corynespora cassiicola fungus is an important disease in rubber plantation. This research aims to identify and isolates genes or part of genes involved in plant defense response in rubber clones
Keyword: |
Judul: Ekstraksi Komponen Bioaktif Dari Pegagan (Centella asiatica (L) Urb) Dan Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Dengan Fluida CO2 Superkritik Untuk Pembuatan Sediaan Nanoemulsi Antiwrinkle.
Abstrak:Centella asatica (L) Urb yang dikenal dengan nama pegagan dan Zingiber officinale Roscoe atau yang lebih dikenal dengan jahe adalah tanaman yang digunakan sebagai tanaman obat. Pegagan dapat digunakan sebagai antiwrinkle (kerutan) karena dapat menginduksi sintesis kolagen, sedangkan jahe mempunyai sifat sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas sehingga menghambat terjadinya oksidasi pada sel, dan mengurangi proses penuaan dini.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh ekstrak yang mengandung komponen bioaktif sebagai penghambat kerutan (wrinkle) dari pegagan dan jahe menggunakan ekstraksi fluida CO2 superkritik, kemudian dihitung rendemen, kadar asiaticoside sebagai komponen bioaktif yang terdapat dalam Centella asatica (L) Urb serta identifikasi kandungan fitokimianya. Selanjutnya ekstrak pegagan dan jahe yang mengandung komponen bioaktif digunakan untuk membuat sediaan nanoemulsi antiwrinkle. Sediaan nanoemulsi antiwrnkle dianalisis terhadap respon alergi dan iritasi, serta manfaatnya sebagai antiwrinkle terhadap penghambatan enzim elastase dan kolagenase untuk melihat sejauh mana potensi ekstrak kasar pegagan dan jahe dapat menghambat kerutan dalam sediaan nanoemulsi. Ekstraksi fluida CO2 superkritik terhadap pegagan telah dilakukan dengan kondisi tekanan 10-27 Mpa, suhu 35-60 OC, dan waktu ekstraksi 1-6 jam. Rendemen tertinggi 9,23 mg/g bahan kering dan kadar asiaticoside 2,466 mg/g bahan kering, diperoleh pada tekanan 27 Mpa, suhu 50OC dan waktu ekstraksi 4 jam, dengan kandungan fenol total 19,87±0,054 mg GEA/g ekstrak dan triterpenoid total 34,9±0,084 % (b/b). Sebagai pembanding dilakukan ekstraksi Centella asiatica (L) Urb dengan metoda maserasi menggunakan pelarut campuran etanol dan air (70% v/v). Diperoleh rendemen 15,85±0,339 mg/g bahan kering dan kadar asiaticoside 1,038 mg/g bahan kering, kandungan triterpenoid total 20,0±0 % (b/b) dan fenol total 74,28±0,682 mg GEA/g ekstrak.
Ekstraksi fluida CO2 superkritik jahe dilakukan pada tekanan 12-16 Mpa, suhu 20-40 OC, waktu ekstraksi 2-6 jam dan metoda maserasi menggunakan pelarut campuran etanol dan air. Rendemen tertinggi 2,99 mg/g bahan kering, diperoleh pada suhu 40 OC, tekanan 16 Mpa dan waktu ekstraksi 6 jam, dengan kandungan fenol total 72,73±0,067 mg GEA/g ekstrak, flavonoid total 9,0±0,005 mg/g ekstrak dan aktivitas antioksidan sebesar 63,66±0,181 μg/mL ekstrak. Ekstraksi jahe dengan metoda maserasi menghasilkan rendemen 3,10 mg/g bahan kering, kandungan fenol total 76,68±0,015 mg GEA/g ekstrak, flavonoid total 11,8±0,032 mg/g ekstrak dan aktivitas antioksidan sebesar 122,85±0,024 μg/mL ekstrak.
Analisis GC-MS terhadap ekstrak kasar Zingiber officinale Rocs dilakukan untuk mengetahui kandungan dan komposisi bahan yang terdapat dalam ekstrak kasar Zingiber officinale Rocs pada ekstraksi CO2 superkritik dan ekstraksi maserasi sebagai pembanding. Analisis kromatografi menunjukkan bahwa profil kimia dari ekstrak jahe mengandung monoterpen teroksigenasi, hidrokarbon
monoterpene, hidrokarbon seskuiterpen, gingerol dan ester monoterpene teroksigenasi.
Ekstrak kasar pegagan dan jahe sebagai komponen bioaktif digunakan untuk formulasi sediaan nanoemulsi antiwrinkle. Pada pembuatan sediaan nanoemulsi antiwrinkle digunakan jenis emulsi minyak dalam air (O/W) perbandingan berat minyak : air adalah 20:80 (% b/b). Metoda pembuatan nanoemulsi menggunakan alat sonikator pada frekuensi 20 kHz, 500 Watt, gelombang ultrasonik pada frekuensi 7-18 kHz dan waktu emulsifikasi pada 5-50 menit. Surfaktan tween 85 pada konsentrasi 5,0-8,5 % berat dan surfaktan trietanol amin pada konsentrasi antara 0,1-2% berat. Selanjutnya penentuan nilai Hydrophilic-Lypophilic Balance (HLB) untuk sistem emulsi minyak dalam air (O/W) pada rentang 10-16. Kondisi proses terbaik dalam pembuatan sediaan nanoemulsi antiwrinkle pada frekuensi 7 kHz, waktu emulsifikasi 30 menit. Komposisi surfaktan tween 85 pada konsentrasi 8,5%, surfaktan trietanol amin pada konsentrasi 1,2% dan HLB 15,30.
Ukuran partikel sediaan nanoemulsi antiwrinkle yang menggunakan ekstrak pegagan dengan metoda maserasi sebesar 77,0±41,3 nm dengan nilai indeks polidispersitas 0,440. Ukuran partikel 49,7±25,8 nm dengan nilai indeks polidispersitas 0,419 untuk ekstraksi pegagan dengan fluida CO2 superkritik, dan 59,4±42,5 nm dengan nilai indeks polidispersitas 0,431 untuk ekstraksi pegagan dengan maserasi fraksinasi.
Hasil analisis terhadap gejala iritasi dan alergi pada kulit, sediaan nanoemulsi antiwrinkle relatif aman, tidak menimbulkan iritasi dan alergi. Hasil analisis manfaatnya sebagai antiwrinkle terhadap penghambatan aktivitas enzim elastase dan enzim kolagenase MMP1 oleh sampel sediaan nanoemulsi antiwrinkle sebesar 75,14 % dan 40,03 %, sedangkan analisis pada produk komersil dengan merk X yang telah dipasarkan sebesar 80,30 % dan 55,04 % untuk penghambatan enzim elastase dan enzim kolagenasi MMP1, pada konsentrasi inhibitor 1000 μg/mL.
Keyword:fluida CO2, fluida CO2 superkritik, maserasi, nanoemulsi, surfaktan, HLB | Judul: Composition and Antioxidant Activity of Indonesian Ginger (Zingiber officinale) Essential Oil: Study on Different Variety and Rhizome Storage Time
Abstrak:Jahe merupakan tanaman rempah dan herbal yang banyak digunakan terutama pada bidang pangan dan kesehatan. Selain karena aroma dan rasanya yang khas, jahe juga dimanfaatkan karena bioaktivitasnya sebagai antioksidan. Antioksidan sangat penting karena tidak hanya mampu mencegah, menghambat atau menunda beberapa penyakit kronis pada manusia, tetapi juga memperpanjang masa simpan bahan pangan dan mempertahankan karakteristiknya. Potensi antioksidan salah satu bentuk ekstrak jahe Indonesia, yaitu minyak esensialnya masih sangat terbatas dilaporkan. Secara umum, sifat antioksidan minyak esensial jahe sangat dikaitkan dengan zingiberena, namun informasi terkait bagaimana level aktivitas antioksidan akibat variasi komposisi, terutama ketika zingiberena rendah, akibat perbedaan jenis varietas serta masa simpan, masih belum banyak dilaporkan.
Studi ini berfokus mengkaji komposisi dan level aktivitas antioksidan minyak esensial dari tiga jenis varietas jahe Indonesia dan masa simpan rimpang berbeda-beda. Untuk mendapatkan informasi tersebut, maka penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengkaji potensi minyak esensial jahe sebagai antioksidan, terutama mencegah atau menghambat penyakit yang melibatkan radikal bebas yaitu inhibitor enzim penuaan kulit. Sementara itu penelitian utama dilakukan dengan maksud mendapatkan informasi terkait potensi kemampuan mencegah, menghambat atau memusnahkan radikal bebas yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama mengkaji profil komposisi dan aktivitas antioksidan minyak esensial dari jenis varietas berbeda serta mengidentifikasi komponen antioksidan yang bertindak sebagai peredam radikal bebas secara langsung maupun menghambat enzim pro-oksidan. Sementara itu tahap kedua berfokus pada komposisi dan aktivitas antioksidan dari rimpang yang disimpan pada waktu berbeda-beda.
Riset pendahuluan berfokus pada studi potensi komponen minyak esensial sebagai bahan anti penuaan kulit dari dua varietas jahe yang umumnya digunakan untuk kesehatan, yaitu jahe merah dan emprit. Komponen diidentifikasi dengan gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS), sedangkan pembedaan kedua varietas dilakukan melalui analisis kemometrik. Potensi anti penuaan kulit dievaluasi melalui simulasi docking dan molecular dynamics. Hasil studi menunjukkan 66 komponen teridentifikasi pada kedua minyak esensial dengan eukaliptol (17,92%) dan kamfena (15,12%) masing-masing merupakan komponen utama pada jahe merah dan emprit. Analisis kemometrik mengungkap dua kelompok diskriminan dengan germakrena D dan α-zingiberena sebagai senyawa penanda untuk diferensiasi. Simulasi docking dan molecular dynamics menunjukkan empat komponen yang kadarnya lebih tinggi pada jahe emprit, yaitu α-kurkumena, α-zingiberena, β-bisabolena dan β-seskuifelandrena, memiliki skor docking terbaik dan berinteraksi dengan enzim kolagenase, hyaluronidase, elastase dan tirosinase dengan interaksi yang relatif stabil. Evaluasi AdmetSAR keempat komponen juga menunjukkan bioavailabilitas yang baik dan dinyatakan aman digunakan untuk manusia.
Penelitian utama tahap satu berfokus mengidentifikasi aktivitas dan komponen antioksidan minyak esensial tiga varietas jahe Indonesia. Minyak esensial diisolasi pada berbagai waktu distilasi dan komposisinya ditentukan dengan GC-MS. Aktivitas antioksidan ditentukan melalui analisis in vitro dan in silico, sedangkan analisis korelasi Pearson dan deskriptor reaktivitas global berbasis density functional theory (DFT) diterapkan untuk mengidentifikasi komponen antioksidannya. Total 29 komponen teridentifikasi dengan geranial sebagai komponen utama pada jahe merah (28,3%) dan gajah (20,4%), sedangkan zingiberena (16,2%) pada jahe emprit. Secara umum, minyak esensial jahe gajah menunjukkan aktivitas antioksidan dengan mekanisme transfer elektron dan atau atom hidrogen terbaik. Analisis korelasi Pearson menunjukkan 9 komponen, yang terdiri atas β-mirsena, D-limonena, α-sabinena, geranil asetat, α-kurkumena, α-zingiberena, α-farnesena, β-bisabolena dan β-seskuifelandrena, diduga kuat berkontribusi sebagai komponen antioksidan. Deskriptor reaktivitas global mengkonfirmasi reaktivitas sembilan komponen antioksidan di mana zingiberena merupakan yang paling reaktif. Studi in silico menunjukkan potensi D-limonena, β-felandrena, α-sabinena, ar-kurkumena, α-zingiberena, α-farnesena dan β-seskuifelandrena sebagai inhibitor lipoksigenase, sedangkan D-limonena, β-felandrena dan ar-kurkumena sebagai inhibitor xantin oksidase.
Studi berikutnya menentukan masa simpan rimpang untuk diambil minyak esensialnya sebagai antioksidan terbaik. Minyak esensial diperoleh melalui HD-kohobasi dan komposisinya ditentukan dengan GC-MS. Aktivitas antioksidan ditentukan melalui analisis in vitro, dan analisis korelasi Pearson digunakan untuk mengidentifikasi komponen antioksidannya. Hasil analisis menunjukkan minyak esensial jahe yang dikoleksi mengandung komponen utama monoterpena (±18,64%), monoterpena teroksigenasi (28,81%) dan seskuiterpena (±21,19%). Kelompok monoterpena teroksigenasi umumnya mengalami penurunan konsentrasi selama penyimpanan rimpang, sedangkan seskuiterpena cenderung tetap atau relatif meningkat. Aktivitas antioksidan terbaik ditunjukkan oleh minyak esensial dari rimpang yang disimpan selama 45 hari dengan komponen utama antioksidan geranil metil eter; trans-1-isopropenil-4-metil-1,4-sikloheksanadiol; dan 4,8-dimetil-3,7-nonadien-2-on.
Berdasarkan beberapa studi yang telah dilakukan diketahui bahwa minyak esensial jahe Indonesia berpotensi mampu menghambat kerja enzim penyebab penuaan kulit, lipoksigenase, xantin oksidase dan meredam radikal bebas langsung. Minyak esensial dari varietas jahe gajah merupakan yang terbaik sebagai sumber antioksidan peredam radikal bebas langsung. Sementara jahe yang disimpan selama 45 hari memiliki aktivitas antioksidan terbaik. Komponen antioksidan utama pada minyak esensial jahe ialah α-zingiberena, β-seskuifelandrena, α-farnesena, β-mirsena, α-kurkumena, geranil asetat, β-bisabolena, α-sabinena, D-limonena, geranil metil ether, (+-)-trans-1-isopropenil-4-metil-1,4-sikloheksanadiol dan 4,8-dimetil-3,7-nonadien-2-on.
Keyword:Antioksidan, jahe Indonesia, minyak esensial, varietas, Zingiber officinale | Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach
Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing.
Keyword: |
Judul: Pengelolaan Perikanan Karang dengan Pendekatan Ekosistem di Kawasan Konservasi (Kasus: Taman Nasional Karimunjawa)
Abstrak:Pada tahun 2001, FAO mengenalkan EAF (ecosystem approach to fisheries)
sebagai penyempurnaan terhadap pendekatan pengelolaan perikanan sebelumnya.
Tekanan penangkapan pada perikanan karang menuntut pengelolaan yang dapat
menjamin keberlanjutan sumber daya ikan karang. Taman Nasional Karimunjawa
(TNKJ) sebagai salah satu kawasan konservasi di Indonesia mempunyai kekayaan
jenis ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya. EAFM diperlukan di
TNKJ untuk mensinergikan tujuan konservasi dan aktivitas penangkapan ikan
karang. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi status pengelolaan perikanan
karang di TNKJ menggunakan indikator EAFM, dan merumuskan keputusan taktis
dan strategi pengelolaan untuk mencapai pemanfaatan ikan karang yang
berkelanjutan.
Evaluasi status EAFM diawali dengan penilaian keragaan domain-domain
dalam EAFM. Penilaian keragaan meliputi biodiversitas ikan karang, status stok
ikan karang, dan efektivitas zonasi dalam pengelolaan perikanan. Status EAFM
dinilai dengan flag model. Konektivitas antar-indikator dinilai dengan logical
causal analysis; konektivitas antar domain dinilai dengan EAFA (ecosystem
approach to fisheries analysis); dan trajectory analysis antar aspek ekologi dan
sosial dinilai dengan Kobe Like Plot. Keputusan taktis dan stretegi kebijakan
ditentukan menggunakan diagram tactical decision.
Biodiversitas ikan karang dinilai dari kelimpahan dan biomassa ikan.
Kelimpahan ikan pada tahun 2015 didominasi oleh famili Pomacentridae dengan
persentase 60.46% dengan nilai kelimpahan 14 850 ind/ha, disusul oleh famili
Caesionidae dengan persentase 11.77% dengan nilai kelimpahan 2 892 ind/ha. Pada
posisi ketiga adalah famili Scaridae dengan persentase 6.27% dengan kelimpahan
1 540 ind/ha. Urutan kelimpahan ikan tahun 2015 sesuai dengan kelimpahan pada
tahun 2010 dan 2013, yaitu Pomacentridae, Caesionidae, dan Scaridae. Famili ikan
yang mempunyai biomassa tertinggi tahun 2015 adalah Scaridae dengan nilai
biomassa 122.33 kg/ha, urutan kedua adalah Caesionidae dengan nilai biomassa
104.91 kg/ha, dan urutan ketiga adalah Serranidae dengan nilai biomassa 50.80
kg/ha. Famili ikan yang mempunyai biomassa terkecil adalah Balistidae yaitu 0.57
kg/ha. Biomassa ikan terbesar tahun 2010 dan 2013 dimiliki oleh famili
Caesionidae yaitu 51.86 dan 186.11 kg/ha. Urutan kedua adalah Pomacentridae
dengan nilai biomassa 72.04 kg/ha dan 103.16 kg/ha. Urutan ketiga adalah Scaridae
dengan nilai biomassa 47.62 kg/ha dan 64.09 kg/ha.
Status stok ikan pisang-pisang dan sunu macan berdasarkan metode analitik
adalah dieksploitasi melebihi batas kelestariannya (114.50% dan 154.00%),
sementara ikan ekor kuning dan jenggot dieksploitasi di bawah batas kelestariannya
(82.00% dan 52.00%). Ikan pisang-pisang mempunyai koefisien pertumbuhan
tertinggi, disusul oleh ekor kuning, jenggot, dan sunu macan. Berdasarkan analisis
surplus produksi, ikan jenggot mempunyai daya dukung paling kecil dibandingkan
ketiga ikan lainnya. Ikan ekor kuning mempunyai nilai daya dukung paling besar.
Status stok ikan sunu macan dan jenggot berada pada kondisi fully exploited,
iii
dengan tingkat pemanfaatan 99.11% dan 98.27%. Ikan ekor kuning berada pada
status moderate to fully exploited (69.39%), dan ikan pisang-pisang berada pada
status moderate exploited (52.34%).
Efektivitas zonasi dalam pengelolaan perikanan diukur dari kelimpahan
ikan di setiap zona, tingkat kepatuhan nelayan terhadap zonasi, dan pelanggaran
zonasi yang terjadi. Zona inti dan pariwisata mempunyai tren kelimpahan ikan
berbentuk polinomial, yang mulai menurun pada 2012 dan 2013. Kelimpahan ikan
di zona perlindungan dan zona tradisional perikanan meningkat secara linier.
Tingkat kepatuhan nelayan untuk tidak menangkap di zona inti dan perlindungan
rata-rata adalah 78.56% (rendah). Tren tingkat pelanggaran berbentuk polinomial,
terjadi penurunan pada 2010-2012, kemudian meningkat pada 2012-2014.
Penilaian status pengelolaan perikanan karang di TNKJ menggunakan flag
model memberikan hasil bahwa domain-domain EAFM berada pada level buruk
sampai baik. Domain-domain yang berada pada level baik adalah habitat dan
ekonomi. Domain lainnya yaitu sumber daya ikan, teknik penangkapan ikan, dan
kelembagaan berada pada level sedang. Domain sosial berada pada level buruk,
karena tingkat kepatuhan nelayan terhadap zonasi yang rendah dan kurangnya
upaya nelayan untuk meningkatkan kapasitasnya.
Status pengelolaan perikanan karang di TNKJ secara agregat berada pada
level sedang dengan nilai pencapaian 58.76%. Diperlukan strategi dan kebijakan
yang dapat mendorong ke pengelolaan yang lebih baik dan dapat mencapai level
baik. Trajectory analysis antara aspek ekologi dan sosial memberikan hasil bahwa
nilai komposit ekologi adalah 2.24 dan sosial adalah 1.97. Rencana perbaikan
perikanan dapat difokuskan pada memelihara strategi yang sudah ada (maintain
existing strategy) di aspek sosial, dan membangun strategi baru untuk memperbaiki
aspek sosial.
Langkah taktis diperlukan untuk mendorong 24 indikator untuk mencapai
tingkat yang lebih baik. Status buruk dimiliki oleh tujuh indikator, dan sisanya (17
indikator) mempunyai status sedang. Tujuh indikator yang perlu segera diperbaiki
adalah kelimpahan ikan, modifikasi alat tangkap, kapasitas tangkap, sinergitas
kebijakan lembaga perikanan dengan lembaga lain, kepatuhan nelayan terhadap
zonasi, konflik perikanan, dan konflik pengelolaan kawasan konservasi.
Keyword:EAFM, kawasan konservasi, ikan karang, zonasi | Judul: Pengelolaan Perikanan Karang Berkelanjutan Berbasis Ekosistem di Wilayah Pesisir Pulau Ternate.
Abstrak:Meningkatnya pembangunan dan aktivitas masyarakat di wilayah pesisir
Pulau Ternate, telah memberikan dampak terhadap aktifitas kegiatan perikanan
karang di daerah ini. Akibatnya, terjadi tekanan pada sumberdaya perikanan karang,
baik ikan karang maupun ekosistem terumbu karang yang menjadi tempat kegiatan
penangkapan ikan. Kebutuhan akan informasi dan model pengelolaan sumberdaya
perikanan karang berbasis pada kondisi ekologi, ekonomi, sosial-budaya dan
teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayah Pulau Ternate merupakan bagian
yang penting untuk dilakukan dalam pengembangan dan peningkatan produksi
perikanan karang di wilayah ini, dengan tetap memperhatikan faktor kelestarian
sumberdaya alam dan keberlanjutan pembangunan pada sektor perikanan dan
kelautan di PulauTernate.
Sumber mata pencaharian dan pengelolaan sumberdaya alam haruslah dapat
diadaptasikan pada perubahan sistem ekologi dan sosial dalam rangka
meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan strategi pengelolaan
perikanan karang berkelanjutan di wilayah pesisir Pulau Ternate dengan
pendekatan ekosistem yang berbasis pada karakteristik sumberdaya dan pola
pengelolaannya, yang dianalisis melalui serangkaian penelitian dengan tujuan
khusus: 1) menilai tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan pada spesies target yang
diekploitasi dalam kegiatan perikanan karang di perairan Pulau Ternate dengan
pendekatan analisis stok (Stock Assessment); 2) menganalisis tingkat interaksi trofik
dalam kegiatan perikanan karang di perairan Pulau Ternate dengan pendekatan
kesetimbangan massa melalui pendekatan model Ecopath with Ecosim; dan 3)
menilai status keberlanjutan pembangunan perikanan karang berdasarkan aspek
ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi melalui modifikasi indikator pengelolaan
berkelanjutan, serta penerapan pendekatan Sustainability Window dalam penentuan
peluang keberlanjutan pembangunan perikanan karang.
Proses pengambilan data dilakukan pada area ekosistem terumbu karang yang
menjadi daerah penangkapan bagi kegiatan perikanan karang di pesisir Pulau
Ternate. Penelitian dilakukan selama satu tahun, sejak April 2018 hingga Mei 2019.
Periode pengambilan dan pengukuran sampel ikan dilakukan dari bulan April
sampai Agustus 2018, disertai dengan proses wawancara pada setiap kelompok
stakeholder yang terkait dengan tujuan penelitian. Pengumpulan data juga
dilakukan melalui penelusuran data kepustakaan dan informasi dari lembaga
terkait.
Ikan-ikan karang yang menjadi target penangkapan dalam kegiatan perikanan
karang di wilayah pesisir Pulau Ternate, umumnya memiliki pola pertumbuhan
yang cenderung pada pertumbuhan alometrik negatif dengan koefisien
pertumbuhan (K) yang relatif sedang (~0.55 – ~1.70 per tahun). Ukuran ikan yang
tertangkap masih berada di bawah ukuran L∞ dari ukuran panjang setiap kelompok
ikan target, mengindikasikan bahwa ikan-ikan target yang tertangkap umumnya
masih belum mencapai ukuran dewasa. Rata-rata umur maksimum (tmax) yang
diperlukan oleh ikan-ikan target untuk mencapai pertumbuhan maksimumnya
sekitar ~4.05 tahun (~49.23 bulan). Ikan-ikan target dengan koefisien pertumbuhan
yang besar umumnya mampu mencapai umur maksimum dalam waktu yang cepat.
Pendugaan ukuran pertama kali tertangkap (LC) menunjukkan bahwa ikan target
yang tertangkap cenderung memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dari ukuran
panjang L∞. Rekrutmen terjadi sepanjang tahun pada seluruh kelompok ikan target,
dengan puncak rekrutmen relatif pada bulan ke-6 dan ke-7 (Juni-Juli). Laju
mortalitas alami (M) dari seluruh ikan target, cenderung lebih besar dari laju
mortalitas akibat penangkapan (F). Laju eksplotasi (E) yang tinggi cenderung
dijumpai pada ikan-ikan target yang memiliki koefisien pertumbuhan yang tinggi,
dengan nilai E berkisar antara 0.4 – 0.8 pada LC antara 152.96 – 214.68 mm.
Tingginya eksploitasi terhadap ikan-ikan yang berukuran kecil, memberikan
pengaruh terhadap nilai B'/R yang dihasilkan saat ini yang berkisar antara ~13%
sampai ~29.7% dari biomassa saat tidak terjadi eksploitasi .
Pemodelan Ecopath menunjukkan bahwa, ekosistem terumbu karang di
wilayah pesisir Pulau Ternate didominasi oleh sistem tingkat tofik rendah, dimana
organisme zooplankton dan bentik memiliki peran yang penting dalam menjaga
keberlanjutan ekosistem. Sejumlah parameter atribut dari ekosistem yang
dimodelkan menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang di pesisir Pulau
Ternate memiliki kematangan dan stabilitas yang rendah, sehingga rentan terhadap
gangguan yang masuk kedalamnya. Hasil pemodelan juga menunjukkan bahwa
ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Pulau Ternate terklasifikasi kedalam
ekosistem yang sedang berkembang. Simulasi dinamik Ekosim menunjukkan
bahwa sumberdaya perikanan karang pada ekosistem terumbu karang di wilayah
pesisir Pulau Ternate, cenderung akan mengalami perubahan apabila terdapat
tekanan yang besar pada sumberdaya dan ekosistem terumbu karang akibat dari
aktifitas kegiatan perikanan karang yang menargetkan spesies-spesies tertentu
dalam penangkapannya. Perubahan atribut bioekologi ekosistem terumbu karang di
wilayah pesisir Pulau Ternate, akan berakibat pada penurunan kelimpahan jumlah
jenis yang menjadi target penangkapan.
Status keberlanjutan pembangunan perikanan karang di wilayah pesisir Pulau
Ternate dari tahun 2012 hingga 2017 menunjukkan status pembangunan yang
berkelanjutan. Perubahan pada nilai indikator-indikator keberlanjutan memberikan
dampak pada performa keberlanjutan setiap dimensi pembangunan, sehingga
penentuan strategi pengelolaan dan pengembangan kegiatan perikanan karang di
wilayah pesisir Pulau Ternate sudah sepatutnya mempertimbangkan keterkaitan
antar setiap dimensi pembangunan, serta indikator-indikator yang menunjang
keberlanjutannya. Peluang keberlanjutan (Sustainable Window, SuWi) kegiatan
perikanan karang di wilayah pesisir Pulau Ternate cenderung menunjukkan nilai
yang mengarah pada proses yang berkelanjutan, dengan tingkat ketebalan peluang
keberlanjutan yang tidak terlalu besar terhadap kegiatan perikanan karang Provinsi
Maluku Utara dan perikanan demersal secara Nasional. Kondisi ini mensyaratkan
perlunya kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan pengeloaan perikanan karang
di wilayah pesisir Pulau Ternate, serta memperhatikan dampak yang dapat
ditimbulkan dari kebijakan pembangunan perikanan baik pada tingkat provinsi
maupun nasional.
Keyword:dinamika populasi, interaksi trofik, kesetimbangan massa, perikanan karang, Sustainability Window | Judul: Antiyeast activities of cumin oil (Cuminum cyminum) toward osmophilic yeast strains isolated from high sugar food
Abstrak:The antiyeast activities of cumin oil toward osmophilic yeast strains isolated from high sugar food were studied. Sixty-eight osmophilic yeasts were isolated from sample i.e. strawberry jam (26 isolates), pineapple jam (25 isolates), and South Sumatera honey (17 isolates). No yeast was obtained from condensed milk, Sumbawa honey, sweet soy sauce, and palmsugar. These yeast isolates were identified based on sequence analysis of the ITS region as Candida metapsilosis, C. parapsilosis, C. orthopsilosis, C. etchellsii and Sterigmatomyces halophilus. Phylogenetic analysis showed that most of the osmophilic yeasts (67 out of 68 isolates) were located in the phylum Ascomycota and only 1 isolate was located in the phylum Basidiomycota. Candida etchellsii was the predominant species in South Sumatera honey, while C. metapsilosis, C. parapsilosis, C. orthopsilosis were predominant species in jam. In both jam and honey samples C. metapsilosis and C. parapsilosis were found, whilst C. orthopsilosis was found only in pineapple jam. All five identified yeast species were used further to examine the antiyeast activities of cumin oil. Cumin oil was analyzed by GC-MS, and it was consisted of some compound i.e. cuminaldehide (35.44%), ρ-cymene (34.77%), β-pynene (15.08 %), γ-terpinene (8.15%), α-thujene, α-pinene, trans-limonene, cis-limonene, pentylcyclohexane, cyclohexane, and apiole. The examination of antiyeast activity based on disc agar diffusion method showed that all of the tested yeasts were sensitive to cumin oil.
Keyword:Cuminum cyminum |
Judul: Spatial Decision Support Design for Bioenergy Supply Chain
Abstrak:Penelitian ini bertujuan merancang model pendukung keputusan spasial pada rantai
pasok bioenergi dengan mengidentifikasi model rantai pasok bagi pengembangan lokasi
agroindustri bioenergi dengan pengembangan model spasial potensial lahan agroindustri
bioenergi, Penentuan jalur terbaik distribusi limbah padi dari sentra pertanian hingga pabrik
pengolahan menjadi bioenergi, Penilaian tingkat keberlanjutan rantai pasok serta merancang
prototipe pendukung keputusan spasial untuk meningkatkan efektivitas rantai pasok. Penelitian
dilakukan di kabupaten Lebak, Provinsi Banten dengan observasi dan wawancara.
Hasil penelitian ini adalah suatu model untuk membantu pengambilan keputusan yang
efisien dan efektif dalam mengelola rantai pasok bioenergi. Dengan menggunakan sistem
informasi geografis (SIG), model sistem pengambilan keputusan spasial ini menggabungkan
data spasial, seperti lokasi geografis wilayah agroindustri bioenergi, lokasi pusat pengumpulan,
industri pengolahan bioenergi, dan titik distribusi secara berkelanjutan. Dengan memanfaatkan
data spasial ini, model dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan terkini tentang
kondisi geografis, jarak antara lokasi, dan faktor spasial lainnya yang berdampak pada rantai
pasok bioenergi.
Keyword:AHP, bioenergy, spatial, supply chain, GIS, rice husk | Judul: Design of intelligent decision support system for the development of agroindustry based agropolitan
Abstrak:Agropolitan is a concept of agricultural development based on regional dimension which optimizes local potential resources and increases local competitive advantages. However, agropolitan development has some obstacles to be implemented such as no coordination and cooperation between stakeholder. The purpose of this study was to establish agroindustry based agropolitan concept. Through system approach, the intelligent decision support system (DSS) developed in this research was to support the implementation of market and material driven agropolitan development. The intelligent DSS was also able to define and delineate spatially the agropolitan area where agriculture had a most contribution to mean of support and welfare of local residents. Meanwhile, within its agropolitan center, the agroindustry could increase agriculture added value to support agropolitan implementation and its sustainibility. The model has been tested at Kabupaten Probolinggo and showed that corn, mango, onion and potato were best commodities within the region and corn based ethanol was highest priority product. Ethanol agroindustry was designed with capacity of 30 milion gallons per year that feasible to be established. As a stucture and infrastructure of supporting agropolitan based on agroindustry, it was recommended to develop market and road. Considering medium level of existing human resource and infrastructure condition, vertical integrated institution has been selected as an appropriate institution model in agroindusty based agropolitan.
Keyword: | Judul: Categorization in Macaca fascicularis.
Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations.
Keyword: |
Judul: Interaksi Tritrofik antara Tanaman Mentimun - Diaphania indica Saunders (Lepidoptera: Crambidae) – parasitoid Apanteles taragamae Viereck (Hymenoptera: Braconidae).
Abstrak:Diaphania indica Saunders (Lepidoptera: Crambidae) merupakan salah satu hama pada beberapa tanaman dari famili cucurbitaceae. Apanteles taragamae Viereck (Hymenoptera: Braconidae) adalah parasitoid larva utama dari D. indica. Penelitian interaksi tritrofik antara tanaman mentimun, ulat D. indica, parasitoid A. taragamae telah dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Entomologi dan Zoologi Terapan, Universitas Tsukuba, Jepang mulai Maret 2014 – Januari 2017. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari karakteristik biologi parasitoid A. taragamae sebagai upaya untuk menilai efektifitas dan efisiensinya dalam mengendalikan populasi D. indica. Untuk itu, penelitian difokuskan pada empat aspek utama yaitu: (1) Interaksi ulat D. indica dan musuh alaminya di lapangan; (2) Perilaku pencarian inang parasitoid A. taragamae: Peran, identifikasi, dan ketertarikan parasitoid A. taragamae terhadap senyawa volatile tanaman mentimun; (3) Studi biologi dan karakteristik kebugaran parasitoid A. taragamae; dan (3) Studi alokasi keturunan dan nisbah kelamin pada A. taragamae.
Penelitian awal menunjukan bahwa kepadatan populasi D. indica di Bogor masih rendah. Hama D. indica dapat dikategorikan sebagai hama minor pada tahun 2014 dan 2015 di Bogor selain karena populasi nya yang masih rendah, D. indica mengalami parasitime yang tinggi oleh A. taragamae sebagai faktor eksternal yang mengatur populasi D. indica di lapangan. Parasitoid lainnya, Ichneumon sp. dan Elasmus sp. menunjukan tingkat parasitisme yang lebih rendah. Tingginya tingkat parasitisme D. indica oleh A. taragamae mengindikasikan bahwa A. taragamae merupakan agen pengendali hayati yang potensial. Untuk itu, kunci aspek-aspek biologi dan ekologi dari A. taragamae perlu dipelajari, khususnya pada aspek perilaku pencarian inang.
Imago jantan dan betina menunjukkan perilaku yang berbeda terhadap bau-bauan yang dikeluarkan tanaman sehat, tanaman dengan pelukaan makan, dan juga tanaman dengan pelukaan mekanis. Secara signifikan, parasitoid betina tertarik terhadap bau-bauan dari tanaman sehat daripada udara bersih, dan lebih tertarik terhadap bau-bauan dari tanaman dengan pelukaan makan daripada tanaman sehat. Sementara itu, tidak ada perbedaan ketertarikan terhadap bau-bauan yang dikeluarkan tanaman dengan pelukaan mekanis dan tanaman sehat. Berbeda dengan betina, parasitoid jantan lebih menyukai udara bersih dari pada bau-bauan tanaman sehat. Parasitoid betina juga menunjukkan respon yang sama terhadap ekstrak senyawa volatile dari tanaman sehat, tanaman dengan pelukaan makan, dan juga tanaman dengan pelukaan mekanis. Hasil analisis kimia senyawa volatile yang dikoleksi dengan headspace volatile collection method menunjukkan bahwa tanaman dengan pelukaan makan melepaskan (E,E)-α-farnesene sebagai senyawa utama dengan proporsi paling tinggi (73%). Ketika (E,E)-α-farnesene diujikan terhadap A. taragamae sebagai senyawa tunggal pada dosis 1.7 – 170 ng, A.
vii
taragamae hanya menunjukkan ketertarikan terhadap (E,E)-α-farnesene pada dosis 17 ng. Dengan demikian, interaksi tritrofik antara tanaman mentimun, ulat D. indica dan parasitoid A. taragamae sebagian dimediasi oleh (E,E)-α-farnesene.
Faktor lain seperti fekunditas, sintasan pradewasa parasitoid, dan nisbah kelamin juga penting dalam sejarah hidup parasitoid. Hasil penelitian mengenai biologi A. taragamae menunjukan bahwa siklus hidup A. taragamae sejalan dengan siklus hidup inangnya D. indica, hal ini menunjukkan adanya interaksi dan hubungan yang dekat antara inang dan parasitoid. Ukuran tubuh A. taragamae merupakan indikator yang kuat untuk menentukan kebugarannya seperti fekunditas dan jumlah telur yang diletakan. Pada aspek preferensi inang, A. taragamae memiliki preferensi terhadap instar awal D. indica. A. taragamae juga memiliki tanggap fungsional yang baik terhadap kepadatan D. indica yang diberikan. Namun demikian, nisbah kelamin A. taragamae di laboratorium didominasi oleh nisbah kelamin bias jantan, dan belum diketahui penyebabnya.
Nisbah kelamin merupakan faktor yang paling penting dalam populasi suatu parasitoid. Nisbah kelamin bias betina dapat memiliki pengaruh dalam menekan perkembangan populasi inang dan stabilitas interaksi inang dan parasitoid. Nisbah kelamin merupakan akumulasi alokasi keturunan dari masing-masing individu dalam populasi. Hasil penelitian lapang menunjukkan bahwa alokasi jenis kelamin pada A. taragamae terjadi secara acak. Tidak ada kecenderungan apakah betina akan meletakan telur-telur jantan atau betina di awal peletakan telur pada inangnya. Secara umum, rata-rata betina diduga sudah berkopulasi sebelum menyebar dari tempat kelahirannya. Sehingga, nisbah kelamin A. taragamae pada tingkat populasi mencapai kondisi nisbah kelamin optimum 1:1 antara jantan dan betina. Analisis hubungan antara brood size dan nisbah kelamin A. taragamae menunjukkan bahwa terdapat ambang batas inang yang dapat menentukan proporsi jantan/betina pada keturunan parasitoid yang dihasilkan. Hubungan antara brood size dan nisbah kelamin ini mungkin dipengaruhi oleh kualitas inang. Dengan kata lain, alokasi jenis kelamin pada A. taragamae mungkin dipengaruhi oleh faktor ekternal, yaitu kualitas inang.
Keyword:(E,E)-α-Farnesene, herbivore-induced plant volatiles, interaksi serangga-tumbuhan, interaksi inang-parasitoid, interaksi tritrofik, kebugaran, nisbah kelamin, perilaku pencarian inang, semiokimia | Judul: Studi Lalat Buah Zeugodacus cucurbitae (Coquillett) (Diptera: Tephritidae) dengan Perhatian Utama pada Deteksi Senyawa Kairomon dari Tanaman Inang.
Abstrak:Lalat buah Zeugodacus cucurbitae (Coquillett) (Diptera: Tephritidae)
merupakan salah satu hama penting, yang tersebar luas di banyak belahan dunia.
Hal ini karena lalat Z. cucurbitae memiliki kemampuan distribusi yang cepat,
tingkat reproduksi yang tinggi, tanaman inang yang cukup beragam, dan memiliki
kemampuan adaptasi yang baik. Z. cucurbitace ditemukan pada berbagai jenis
tanaman inang, namun tanaman Cucurbitaceae merupakan inang yang paling
disukai. Preferensi serangga terhadap suatu inang dipengaruhi oleh kesesuaian
faktor morfologi dan biokimia tanaman inang. Faktor tersebut dapat memberikan
pengaruh bagi lalat buah dalam pemilihan inang. Interaksi serangga dengan
tanaman inang dapat dipengaruhi oleh keberadaan semiokimia berupa senyawa
kairomon yang berperan sebagai pemikat bagi lalat buah Z. cucurbitae dalam
mengunjungi tanaman inangnya. Oleh karena itu, berbagai kajian perlu dilakukan
untuk memberikan landasan pemikiran terhadap keberadaan senyawa kairomon
yang dapat memikat lalat buah jantan dan betina. Penelitian yang dilakukan
bertujuan (1) mempelajari kelimpahan Z. cucurbitae dan parasitoidnya pada
berbagai tanaman inang Cucurbitaceae, dan tingkat serangan berdasarkan fenologi
buah, (2) mendeteksi senyawa penanda kairomon Z. cucurbitae dari tanaman
inang Cucurbitaceae, dan (3) mempelajari respon olfaktori Z. cucurbitae terhadap
senyawa fraksi terpenoid dan senyawa tunggal penanda kairomon.
Pengamatan dilakukan pada pertanaman Cucurbitaceae di wilayah Bogor.
Jenis tanaman yang diamati adalah oyong (Luffa acutangula (L) Roxb.), pare
(Momordica charantia L.) dan mentimun (Cucumis sativus L.). Pada setiap
tanaman dilakukan pengambilan sampel pada tiga titik lokasi yang berbeda
sebagai ulangan. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara transek garis
pada setiap 5 meter, selama 5 minggu pengamatan secara berturut-turut. Studi
respon Z. cucurbitae terhadap senyawa kairomon dilakukan dengan menggunakan
olfaktometer tabung-Y, dengan elusi senyawa pembawa melalui fraksi n-heksan.
Respon olfaktori Z. cucurbitae dilakukan terhadap senyawa makro molekul fraksi
n-heksan, senyawa fraksi terpenoid, serta senyawa murni isomer derivat terpenoid
(keton dan fitol). Pengujian menggunakan tiga kategori umur lalat buah yaitu
jantan dan betina umur 1-2 hari, betina praoviposisi, dan betina pascaoviposisi.
Hasil pengumpulan buah terserang menunjukkan bahwa pada tanaman
oyong, pare dan mentimun spesies lalat buah yang ditemukan adalah Z.
cucurbitae, Zeugodacus calumniatus (Hardy) dan Dacus longicornis
(Wiedemann). Lalat buah Z. cucurbitae merupakan spesies yang paling dominan,
dengan proporsi lebih dari 90%. Parasitoid yang muncul dari buah terserang
adalah Psyttalia fletcheri (Silvestri) (Hymenoptera: Braconidae) dan Spalangia
endius Walker (Hymenoptera: Pteromalidae), dengan tingkat parasitisasi paling
tinggi 6.2%. Berdasarkan jumlah buah yang terserang di lapangan, serangan Z.
cucurbitae lebih banyak terjadi pada buah oyong. Hasil pengukuran dengan
penetrometer menunjukkan buah oyong muda memiliki jaringan yang lebih lunak
dibandingkan jaringan buah muda pare dan mentimun. Berdasarkan fenologi
buah, serangan Z. cucurbitae mulai terjadi pada saat buah berumur 5-6 hari,
dengan banyaknya buah terserang paling tinggi terdapat pada buah berumur 17-
30 hari.
Hasil pengujian dengan menggunakan olfaktometer menunjukkan bahwa
senyawa volatil dari fraksi n-heksan daun pare memberikan respon ketertarikan
yang lebih kuat bagi lalat buah jantan dan betina Z. cucurbitae dibandingkan dari
oyong dan mentimun. Masa waktu kunjungan yang lebih lama ditunjukkan oleh
betina virgin dan betina praoviposisi pada fraksi daun pare tersebut. Komponen
senyawa kimia pada fraksi n-heksan daun pare yang ditemukan meliputi alkohol
(6 senyawa), aldehid (3 senyawa), keton (2 senyawa), dan ester (7 senyawa).
Jumlah senyawa alkohol, aldehid, dan keton ditemukan lebih banyak pada daun
dibanding pada buah. Dari hasil isolasi makromolekul terpenoid diperoleh
senyawa keton (6,10,14-trimetil-2-pentadecanon), fitol (3,7,11,15-tetrametil-2-
heksadecen-1-ol), dan fitosterol.
Hasil pengujian selanjutnya menunjukkan bahwa lalat buah jantan
Z. cucurbitae memberikan respon ketertarikan yang lebih lama terhadap senyawa
keton dibandingkan terhadap senyawa fraksi terpenoid, sedangkan lalat betina
memberikan respon ketertarikan yang tinggi terhadap senyawa fraksi terpenoid.
Meskipun demikian, perbedaan ketertarikan pada kedua senyawa tersebut secara
statistik tidak signifikan. Pengujian respon ketertarikan Z. cucurbitae terhadap
senyawa murni fitol dan keton menunjukkan bahwa lalat buah jantan cenderung
lebih tertarik terhadap senyawa keton dibandingkan terhadap senyawa fitol.
Sementara itu, betina virgin lebih tertarik terhadap senyawa fitol (proporsi 54%)
dibandingkan terhadap keton (25%), sedangkan betina praoviposisi (proporsi
40%) memberikan respon tidak memilih terhadap kedua senyawa tersebut.
Keberadaa senyawa fraksi terpenoid, 2-pentadecanon, dan 3,7,11,15-tetrametil-2-
heksadecen-1-ol di dalam daun pare menunjukkan tanaman tersebut dapat menjadi
sumber kairomon bagi Z. cucurbitae. Penelusuran keberadaan senyawa tersebut
diperoleh melalui jalur terpenoid dengan menggunakan metode Harborne.
Keyword:Cucurbitaceae, kairomon, lalat buah, Zeugodacus cucurbitae | Judul: Quality improvement of paddy soil and discharged water in drainage channel at acid sulphate soil.
Abstrak:Oxidation of pyrite in acid sulphate soil reduced the quality of soil and discharged water from paddy field. Improvement of soil quality in paddy cultivation could be managed by addition of organic matter together with regulating water to maintain its reductive condition. Water quality improvement in the paddy field was conducted by addition of good quality water (pH=5,0)through utilization of high tide water in dry season and rain water during rainy season while for improvement of discharged water, a system of drainage channel was developed
Keyword: |
Judul: Optimalization of kids and milk yields of etawah-grade by superovulation and zinc supplementation
Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk meengetahui bagaimana pengaruh superovulasi dan suplementasi seng pada produktivitas induk dalam menghasilkan anak dan produksi susu kambing PE.
Keyword: | Judul: Pengaruh Ransum Flushing dengan Profil Asam Lemak yang Berbeda pada Performa Reproduksi Induk dan Ketahanan Tubuh Anak Kambing Peranakan Etawah
Abstrak:Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan salah satu plasma nutfah
Indonesia yang mempunyai fungsi dan peran strategis pada kehidupan masyarakat
sebagai ternak dwiguna, tetapi efisiensi reproduksinya di masyarakat masih rendah.
Kondisi tubuh (body condition score, BCS) kambing PE yang belum ideal menjadi
salah satu penyebab rendahnya efisiensi reproduksi. Flushing dengan suplementasi
lemak menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan efisiensi reproduksi di
daerah tropis. Suplementasi lemak dapat meningkatkan densitas energi dalam
ransum. Perbedaan komposisi asam lemak yang terkandung, khususnya asam lemak
tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acid, PUFA) juga memiliki berbagai efek
metabolisme di dalam tubuh ternak dan berperan penting dalam menentukan efek
pada reproduksi. Kajian suplementasi PUFA selanjutnya difokuskan pada
perbandingan pengaruh asam linoleat dengan asam α-linolenat dalam upaya
perbaikan performa reproduksi dan produktivitas kambing PE.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis pengaruh
flushing dengan suplementasi asam lemak berbeda (laurat, linoleat, dan α-linolenat)
dalam ransum induk kambing PE pada (i) pertumbuhan dan perkembangan folikel
selama estrus; (ii) performa reproduksi induk; (iii) performa laktasi induk; (iv)
pertumbuhan, perkembangan, serta ketahanan tubuh anak kambing yang dilahirkan
selama pra-sapih. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret 2018 sampai Februari
2019, bertempat di Laboratorium Lapang dan Analisis Nutrisi Ternak Daging dan
Kerja, Laboratorium Analisis Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan IPB,
Bogor, serta Laboratorium Penelitian Terintegrasi Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan
etik dari Komisi Etik Hewan (KEH) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (LPPM-IPB) dengan nomor: 119 – 2018 IPB.
Kajian pertama bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis stimulasi
pertumbuhan dan perkembangan folikel selama estrus serta korelasinya dengan
hormon estradiol dan progesteron pada induk kambing PE yang diberi ransum
flushing dengan asam lemak yang berbeda. Kajian ini menggunakan 9 ekor
kambing PE paritas ke-2, berumur sekitar 1.5-2 tahun dengan bobot badan rata-rata
30.56 ± 1.96 kg dan BCS awal 1.75 ± 0.25, yang dibagi secara acak ke dalam 3
perlakuan dan 3 ulangan. Penelitian ini terdiri atas 3 perlakuan ransum flushing
dengan suplementasi asam lemak berbeda: (i) T1: suplementasi 2.8% asam laurat
dari minyak kelapa, (ii) T2: suplementasi 2.8% asam linoleat dari minyak bunga
matahari, dan (iii) T3: suplementasi 2.8% asam α-linolenat dari minyak flaxseed.
Ransum flushing diformulasi secara isoenergi (total digestible nutrient, TDN =
77%) dan isoprotein (protein kasar = 15%) dan diberikan selama 21 hari dimulai 3
hari setelah penyuntikan hormon prostaglandin F2α (PGF2α) yang ke-2 tanpa
dikawinkan sampai muncul estrus pada siklus berikutnya. Data BCS, kadar glukosa,
dan kolesterol yang dihasilkan dari sampel berulang dianalisis dengan repeated
measurement analysis of variance (ANOVA). Data konsumsi zat makanan, jumlah,
dan diameter folikel pada setiap kelasnya serta folikel preovulasi, korpus luteum,
konsentrasi estradiol dan progesteron dianalisis dengan ANOVA dan dilanjutkan
dengan uji berganda Duncan. Korelasi antara jumlah total folikel dan konsentrasi
estradiol serta antara diameter korpus luteum dan konsentrasi progesteron dianalisis
dengan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan
berbagai jenis asam lemak dalam ransum flushing tidak memengaruhi konsumsi zat
makanan; BCS; dan kadar glukosa, kolesterol, serta progesteron plasma pada semua
perlakuan. Ransum flushing selama 3 minggu meningkatkan BCS sebesar 0.8-0.9
dan kadar kolesterol plasma sebesar 23.12-50.12 mg dL-1 dibandingkan dengan
sebelum flushing. Jumlah total folikel besar secara signifikan tertinggi (P < 0.05)
pada induk kambing dengan perlakuan 2.8% asam α-linolenat (T3). Suplementasi
asam laurat 2.8% (T1) secara dramatis meningkatkan kadar estradiol plasma selama
estrus. Kadar progesteron plasma dalam semua perlakuan tidak berbeda nyata
selama periode estrus. Analisis korelasi antara jumlah total folikel dan konsentrasi
estradiol secara keseluruhan menunjukkan korelasi kuat (r = 0.63) yang signifikan
(P < 0.05). Analisis korelasi antara diameter korpus luteum dan konsentrasi
progesteron secara keseluruhan menunjukkan korelasi sedang (r = 0.55) dan
signifikan (P < 0.05). Kesimpulan kajian pertama, suplementasi 2.8% asam α-
linolenat dari minyak flaxseed dalam ransum flushing meningkatkan jumlah folikel
preovulasi ukuran besar. Total folikel secara keseluruhan mempunyai korelasi kuat
dan signifikan terhadap konsentrasi hormon estradiol. Diameter korpus luteum
secara keseluruhan mempunyai korelasi sedang dan signifikan dengan konsentrasi
hormon progesteron.
Kajian kedua bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis pengaruh
flushing dengan profil asam lemak yang berbeda (laurat, linoleat, dan linolenat)
dalam ransum induk kambing PE pada performa reproduksi. Kajian ini
menggunakan 18 ekor induk kambing PE paritas ke-2 dengan bobot badan rata-rata
34.28 ± 3.38 kg dan BCS awal 1.92 ± 0.26 dan 3 ekor pejantan sebagai pemacek
dengan kualitas semen yang sama. Penelitian menggunakan rancangan acak
lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Ransum periode flushing
disusun isoprotein (protein kasar = 15%) dan isoenergi (TDN = 75%) yang terdiri
atas 3 perlakuan ransum dengan suplementasi asam lemak berbeda: (i) T1: 2.8%
asam laurat dari minyak kelapa, (ii) T2: 2.8% asam linoleat dari minyak bunga
matahari, dan (iii) T3: 2.8% asam α-linolenat dari minyak flaxseed. Periode flushing
dimulai dari 3 minggu sebelum kawin sampai 2 minggu setelah kawin dan
dilanjutkan pada umur kebuntingan 4 bulan sampai partus. Sinkronisasi estrus
dilakukan dengan menyuntikkan PGF2α dua kali dengan selang waktu 11 hari
sebelum induk kambing dikawinkan secara alami. Data konsumsi, metabolit darah,
hormon, jumlah embrio, litter size, lama bunting, dan bobot lahir dianalisis statistik
dengan ANOVA satu arah. Perbedaan nilai tengah perlakuan diuji menggunakan
uji berganda Duncan. Data rasio jenis kelamin anak dan tipe kelahiran dianalisis
dengan uji chi-square (χ2). Data persentase kebuntingan, keguguran, kehilangan dan
daya tahan embrio, angka beranak (kidding rate), dan total anak yang lahir
dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh
perlakuan pada konsumsi zat makanan, kadar glukosa, dan kolesterol. Konsentrasi
estradiol 2 hari pascasinkronisasi estrus pada T3 dan T2, (P < 0.05) lebih rendah
dibandingkan dengan T1, sebaliknya konsentrasi progesteron pada T3 lebih tinggi
(P < 0.05) daripada T1 dan T2. Konsentrasi progesteron umur kebuntingan 19
minggu, pada T3 dan T2 lebih tinggi (P < 0.05) daripada T1. Jumlah dan daya tahan
embrio, angka beranak, serta total anak yang dihasilkan pada T3 lebih tinggi
daripada T1 dan T2. Anak kambing dengan dominasi jenis kelamin jantan diperoleh
pada T1 dan T3, sedangkan dominasi betina diperoleh pada T2 (P < 0.05).
Perbedaan asam lemak dalam ransum flushing tidak berpengaruh nyata pada litter
size, tetapi perlakuan T1 meningkatkan persentase kelahiran kembar 2.
Kesimpulannya, flushing dengan suplementasi asam α-linolenat 2.8% dalam
ransum meningkatkan performa reproduksi melalui peningkatan sintesis hormon
progesteron, jumlah dan daya tahan embrio, angka beranak, persentase kelahiran
kembar, total anak dalam kelompok, dan anak dengan rasio jenis kelamin jantan.
Kajian ketiga bertujuan untuk mengevaluasi dan menganalisis pengaruh
pemberian ransum flushing pada akhir kebuntingan dan awal laktasi dengan profil
asam lemak yang berbeda pada performa laktasi induk kambing PE dan
pertumbuhan, perkembangan, serta ketahanan tubuh anak kambing yang dilahirkan
selama pra-sapih. Penelitian ini menggunakan induk kambing PE paritas ke-2
sebanyak 16 ekor yang berumur sekitar 1.5-2 tahun pada fase akhir kebuntingan
(umur kebuntingan 16 minggu) dengan bobot badan rata-rata 42.74 ± 3.72 kg,
dikelompokkan ke dalam 3 perlakuan dengan ulangan yang berbeda berdasarkan
perlakuan pada tahap sebelumnya. Perlakuan terdiri atas ransum flushing dengan
suplementasi asam lemak berbeda, yaitu 2.8% asam laurat (T1, n = 5 ekor), 2.8%
asam linoleat (T2, n = 5 ekor), atau 2.8% asam α-linolenat (T3, n = 6 ekor) yang
diberikan mulai umur kebuntingan 16 minggu sampai 2 minggu pascapartus,
selanjutnya setelah tahap tersebut menggunakan ransum laktasi. Peubah yang
diukur untuk pengamatan performa laktasi induk terdiri atas konsumsi zat makanan,
BCS, kadar glukosa, nitrogen urea darah, kolesterol, hematologi induk, penyusutan
bobot badan induk, volume ambing, komposisi kimia kolostrum dan susu, produksi
susu, profil asam lemak susu induk periode flushing. Peubah yang diukur untuk
pengamatan performa anak terdiri atas bobot lahir anak, tingkah laku anak setelah
lahir, kadar IgG kolostrum, IgG plasma induk dan anak, mortalitas anak pada saat
lahir dan daya hidup anak sampai disapih dan bobot sapih. Data dianalisis dengan
ANOVA satu arah, kecuali hematologi, mortalitas, dan daya hidup anak sampai
sapih. Data hematologi dianalisis dengan ANOVA dua arah dengan pola faktorial
3 x 2 dengan faktor pertama asam lemak dan faktor kedua litter size (LS 1 dan LS2).
Perbedaan nilai tengah perlakuan diuji menggunakan uji berganda Duncan.
Mortalitas dan daya hidup anak dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian ketiga pada kajian performa laktasi induk menunjukkan tidak
ada pengaruh perlakuan pada konsumsi zat makanan, BCS, penyusutan bobot induk,
kadar glukosa, nitrogen urea darah, dan kolesterol, serta komposisi kimia kolostrum
dan susu. Volume ambing pada akhir kebuntingan dan rata-rata produksi susu pada
perlakuan T3 dan T2 lebih tinggi (P < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan T1.
Kandungan omega-3 dalam susu paling tinggi diperoleh pada T3 sehingga
menghasilkan rasio omega-6 terhadap omega-3 yang paling rendah. Jumlah
leukosit paling tinggi pada LS2 daripada LS1 (P < 0.05), tetapi tidak dipengaruhi
oleh perbedaan asam lemak. Kadar limfosit paling tinggi pada T3 dan LS2, tetapi
angka tersebut masih dalam batas normal. Monosit dan neutrofil lebih rendah pada
T3 dibandingkan dengan T1, tetapi tidak berbeda dari T2.
Kajian performa anak menunjukkan bahwa anak kembar 2 dari induk
perlakuan T3 memiliki kemampuan sukses berdiri dan menyusu paling cepat, tetapi
pada anak tunggal tidak ditemukan perbedaan nyata. Konsentrasi immunoglobulin
G (IgG) dalam kolostrum dan plasma anak tidak dipengaruhi oleh perlakuan, tetapi
konsentrasi IgG dalam plasma induk paling tinggi pada T3. Mortalitas anak saat
lahir pada perlakuan T1 sebesar 16.67%, sementara pada anak-anak dari induk
perlakuan T2 dan T3 tidak ada yang mati pada saat lahir. Bobot lahir anak kembar
2 pada T3 lebih tinggi dibandingkan dengan T1, tetapi tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan T2. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) dan bobot sapih
pada anak tunggal tidak berbeda nyata, tetapi pada anak kembar 2 paling tinggi
diperoleh pada perlakuan T3 sehingga menghasilkan total bobot sapih anak
sekelahiran paling tinggi. Kesimpulan kajian ketiga pada performa laktasi,
pemberian ransum dengan suplementasi 2.8% asam α-linolenat dari minyak
flaxseed selama periode flushing dapat meningkatkan performa laktasi kambing PE
melalui peningkatan volume ukuran ambing, produksi susu, serta kandungan
omega-3 dalam susu. Suplementasi 2.8% asam α-linolenat dalam ransum flushing
induk kambing PE pada kajian performa dapat menurunkan latensi sukses berdiri
dan menyusu, meningkatkan bobot lahir dan bobot sapih pada anak kembar 2.
Kesimpulan dari keseluruhan kajian ini, flushing dengan suplementasi 2.8%
asam α-linolenat dari minyak flaxseed dalam ransum memperbaiki performa
reproduksi induk kambing PE melalui peningkatan jumlah folikel besar preovulasi,
sintesis hormon progesteron, jumlah dan daya tahan embrio, angka beranak, angka
kelahiran kembar, total anak yang lahir dalam satu kelompok, dan rasio jenis
kelamin anak jantan. Asam α-linolenat juga meningkatkan performa laktasi induk
melalui peningkatan volume ukuran ambing, produksi susu, dan kandungan omega-
3, serta penurunan rasio omega-6 terhadap omega-3 dalam susu. Suplai omega-3
secara maternal meningkatkan performa anak-anak kambing yang lahir kembar 2
melalui penurunan latensi sukses berdiri dan menyusu, peningkatan bobot lahir dan
bobot sapih. Penggunaan ransum flushing yang mengandung 2.8% asam α-linolenat
dari minyak flaxseed berdasarkan pertimbangan pada semua aspek, menunjukkan
performa reproduksi dan produktivitas kambing PE terbaik.
Keyword:asam α-linolenat, embrio, flushing, kambing PE, ketahanan tubuh | Judul: Categorization in Macaca fascicularis.
Abstrak:Categorization is an ability to group individuals or events into different classes mediated by conceptualized mental images. There are several levels of categorization and within a taxonomy the levels are nested. At the most concrete level of categorization, all or most members of the category shared common physical attributes that differ from other categories. The higher the level of category, the fewer common attributes between members of the group. In addition to humans, the ability to categorize has also been proposed in animals. One example of categorization in animal is species discrimination. Using matching-tosample task, present experiment tested ability of the long-tailed macaque (Macaca fascicularis) in discriminating dichotomous-stimuli of different animals. The species has been shown to be able to see photos as representations of real object so I used facial photos of humans and animals for the stimuli. First, I tested their ability to classify humans and macaques into separate group. Second, I tested their ability to discriminate their conspecific from other macaques. And the last, I tested whether the subjects were able to discriminate non-human animals from humans. In all of these experiments I found that the subjects showed high performance in categorizing objects, even when I discarded details of visual informations, such as color and local shapes. The ability to identify objects with reduced representation of physical properties means the subjects were able to generalize attributes of members of the group. This would indicate that the subjects created a higher level abstraction. On the other hand, in discriminating intrageneric macaque species I found that they were able to extract uniqueness of each species. More over, I also found that the subjects were able to put photos of non-human animals that shared very few similarities in physical percepts into one group. I suggested that the subjects could create a more abstract concept based on non-percepts relations as a basis to put the objects into one category. Thus, I concluded that M. fascicularis were able to perform multiple levels of categorizations.
Keyword: |
Judul: Institution analysis of revolving fund loan for the development of community forest plantation
Abstrak:Kinerja Pinjaman Dana Bergulir untuk Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (PDB HTR) memberikan gambaran bentuk kelembagaan yang mengatur hubungan antara pemberi pinjaman (Kementerian Kehutanan cq BLU Pusat P2H) dan penerima pinjaman (petani sekitar hutan), hubungan tersebut sering diwarnai oleh ketidaksepadanan informasi yang menyebabkan timbulnya resiko salah pilih penerima pinjaman dan ingkar janji. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PDB HTR melalui analisis kelembagaan, landasan teori yang digunakan adalah teori agensi untuk memahami hubungan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman PDB HTR. Untuk menentukan skema pendanaan HTR yang optimal untuk petani digunakan metode Proses Hirarki Analitik (PHA) atau (Analytical Hierarchy Process (AHP)). Penelitian dilakukan di 3 Provinsi yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja PDB HTR buruk, dan tujuan PDB HTR belum tercapai yaitu tepat lokasi, tepat pelaku, tepat kegiatan, tepat penyaluran dan pengembalian. Ketidaktepatan pelaku dan lokasi karena dari 2 koperasi yang sudah menerima penyaluran PDB HTR keduanya tidak terbebas dari konflik. Tidak tepat kegiatan dan penyaluran karena dana PDB HTR digunakan oleh penerimanya untuk kepentingan selain penanaman.
Keyword:revolving fund loan, community Forest Plantation, agency relationship | Judul: Strategi Pengembangan Kemitraan Pengelolaan Hutan Rakyat: Kasus di Provinsi Jawa Barat
Abstrak:Kemitraaan pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu upaya
meningkatkan kesejahteraan petani hutan rakyat dan memasok bahan baku
industri. Kemitraan yang terjadi saat ini kebanyakan bersifat dispersal, dimana
hubungan antara petani dengan mitra tidak kuat. Hubungan tersebut belum
mengarah kepada perilaku saling memerlukan dan saling menguntungkan.
Penelitian bertujuan (1) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kinerja kemitraan pengelolaan hutan rakyat, dan (2) merumuskan strategi yang
tepat untuk mencapai kemitraan pengelolaan hutan rakyat yang sinergis dan sesuai
dengan kondisi dan potensi sumberdaya hutan rakyat.
Hipotesis dari penelitian adalah kemitraan pengelolaan hutan rakyat dan
kesiapan petani hutan rakyat berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan
petani hutan rakyat, dan berpengaruh terhadap peningkatan kelestarian hutan
rakyat. Kinerja kemitraan pengelolaan hutan rakyat dipengaruhi oleh intensitas
hubungan sosial para pihak, kesiapan petani hutan rakyat, dan potensi hutan
rakyat. Selanjutnya, intensitas hubungan sosial para pihak dan kesiapan petani
hutan rakyat masing-masing dipengaruhi oleh karakteristik individu petani hutan
rakyat, kejelasan peran petani, serta potensi hutan rakyat.
Rancangan penelitian merupakan explanatory research menggunakan
metode survei. Sampel penelitian adalah 181 petani hutan rakyat yang bermitra
dengan industri primer pengolahan kayu maupun non industri, dipilih secara acak
klaster (cluster random sampling). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-
Oktober 2012 di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, Provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Pengumpulan data kuantitatif menggunakan kuesioner dan melakukan
inventarisasi terhadap tanaman hasil kemitraan. Pengumpulan data kualitatif
dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan pengamatan
lapangan. Teknik analisis kelembagaan kemitraan dilakukan dengan pendekatan
Principal-agent Relationships, kelayakan kemitraan menggunakan analisis
finansial, sedangkan analisis pengaruh faktor-faktor peubah terhadap kinerja
kemitraan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM).
Penelitian menemukan kinerja kelembagaan kemitraan pengelolaan hutan
rakyat dipengaruhi oleh hubungan kedua pihak, kepatuhan terhadap kesepakatan
perjanjian, pengawasan dan sanksi pelanggaran kesepakatan, serta proporsi
sharing input-output. Penelitian menyimpulkan terdapat hubungan yang erat
antara kesejahteraan petani hutan rakyat dengan kelestarian hutan rakyat, dengan
model persamaan struktural adalah Y5=0.87Y4; R2=0.7569. Kesejahteraan petani
dipengaruhi oleh kinerja kemitraan pengelolaan hutan rakyat dan kesiapan petani
hutan rakyat, dengan model persamaan struktural adalah Y4=0.37X3 + 0.66Y3;
R2=0.5725. Kinerja kemitraan pengelolaan hutan rakyat dipengaruhi oleh
kesiapan petani hutan rakyat, intensitas hubungan sosial pengelolaan hutan rakyat,
dan potensi hutan rakyat, dengan model persamaan struktural adalah Y3=0.42Y1 +
0.55Y2 + 0.16X3; R2=0.5045. Kesiapan petani hutan rakyat dipengaruhi oleh
karakteristik petani, kejelasan peran petani dan potensi hutan rakyat, dengan
model persamaan struktural adalah Y2=0.11X1 + 0.87X2 + 0.23X3; R2=0.8219.
Intensitas hubungan sosial pengelolaan hutan rakyat dipengaruhi oleh
karakteristik petani, kejelasan peran petani, dan potensi hutan rakyat, dengan
model persamaan struktural adalah Y1=0.32X1 + 0.78X2 + 0.19X3; R2=0.7469. dst...
Keyword:partnerships, smallholder private forest management, institution, farmer’s welfare, sustainability of smallholder private forests | Judul: Enrichment of organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in quail products through its supplementation in the diet and its potency of quail eggs as an ingredient in selenium-rich egg juice
Abstrak:This study was aimed to achieve an optimum level of combine organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in obtaining the best production and reproduction as well as the highest level of selenium in quail eggs. This study was conducted from January to August 2008. Numbers of observed quails were 720 (360 females and 360 males). The treatments were applied when the quails were six weeks old. Nine treatment diets were: To (commercial diet), T1(0.46 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T2 (0.46 ppm inorganic Se + 87.00 ppm vitamin E), T3 (0.92 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T4 (0.92 ppm inorganic Se +87.00 ppm vitamin E), T5 (0.46 ppm organic Se + 43.50 ppm vitamin E), T6 (0.46 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E), T7(0.92 ppm organic Se + 43.50 vitamin E) and T8(0.92 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E).
Keyword:egg yolk, glutathione peroxidase ( GSH-Px), hedonic test, rank test |
Judul: The effects of sucrose supplementation, insulin injection, and resting period prior to slaughtering on meat quality in sheep exposed to stressful transportation
Abstrak:An experiment was conducted to study the effects of sucrose supplementation, insulin injection, and resting period prior to slaughtering on meat quality in sheep exposed to stressf1.11tr ansportation. FiRy four female local sheep (10 to 12 months of age) with weight ranging from I4 to 17 kg. The experimental sheep were assigned into a completely randomized design with a 2x3~3 factorial arrangement with 3 replications. The first factor was sucrose supplementation wih 2 leveb (0 and 6 @g body weight). The second factor was insulin injection afkr transportation with 3 levels (0, 0,3 and 0-6 ILTlkgBW). The third factor was the duration of resting perid with 3 levels (2,4 and 6 h prior to slaughtering). Parameters measured were rectal temperature and heart rate, live weight, carcass percentage, blood glucose concentration, meat glycogen concentration, meat lactate concentration, meat pH, water holding capacity, meat tenderness, cooking loss and meat color. The results of the experiment indicated that sheep supplemented with sucrose after transportation had higher meat glycogen and lactate concentration but lower meat pH and cooking loss. Insulin injection decreased blood glucose concentration but increased meat glycogen and lactate concentration. The longer the resting period prior to slaughtering the lower the live weight but the higher carcass percentage. B l d glucose concentration decreased with the increased resting period prior to slaughtering. Water holding capacity, meat tenderness and meat colour did nor show significant differences. It was concluded that sucrose supplementation, insulin injection, and resting period prior to slaughtering in sheep exposed to stressful transportation could improve meat quality.
Keyword: | Judul: Study of feedlot optimality through manipulation of feed, compensatory growth and fattening time period
Abstrak:Usaha penggemukan sapi (Feedlot) di Indonesia pada dekade 10 tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan yang pesat. tetapi d~ika ekonomi mak:ro yang tidak menentu akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan saat ini, telah menimbulkan implikasi terhadap situasi yang tidak menguntungkan bagi usaha penggemukan sapi (Feedlot) schingga salah satu altematif untuk mengatasi masalah tersebut adalah mencari suatu model penggemukan sapi yang efisien. sehingga usaha penggemukan sapi dapat memberikan keuntungan yang optimal. Model penggemukan sapi yang dikcmbangkan adalah melalui manipulasi terhadap komponen yang memiliki kontribusi dominan terbadap biaya produksi dan berdampak tcrhadap peningkatan kualitas produk daging. Manipulasi dilakukan terhadap kualitas pakan, p.e-n-c-ra-p-a-n- f-c-n-om--e-na pertumbuhan kompensasi dan penentuan periode waktu pcnggemukan yang efisicn, schingga tujuan dari penelitian ini adalah ( 1) untuk mengetahui pengaruh perbedaan kualitas pakan (perbedaan kadar protein/energi), pertumbuhan kompensasi dan periode waktu penggemukan (2. 3 dan 4 bulan) terhadap kinerja pertumbuhan. produksi pemotongan (karkas dan daging) dan kualitas daging (2) untuk mencari model penggemukan sapi yang optimal, dengan cara memanipulasi pakan. Pertumbuhan kompensasi dan penentuan periode waktu penggemukan sapi dalam kombinasi perlakuan yang sinergis., The objectives of the study was to find an optimum production of fattening model through manipulation of feed, compensatory growth and fattening period. One hundred eight young catties (steers) of Australian Commercial Cross (ACC), 2-3 years old were used and 54 heads of catties were slaughtered. Those catties were devided into 3 treated groups. Group I : was treated with different ration of Crude Protein (CP)/Metaboliz.able Energy (ME)= 16,12% /2534 kcal (T); 13,52% /2392 kcal (S) and 11, l 8% /2287 kcal (R) of l kg dry matter ration. Group II : was treated with different condition of steers of thin body I compensatory growth (K) and not thin body/ non compensatory growth (NK). Average Daily Gain (ADG) ofK was more than 0,9 kg/day and NK was less than 0,9 kg/day. Group m : was treated with 3 different fattening time period of 2 months (WP 2); 3 months (WP3) and 4 months (WP4). The study was carried out on November 1997 to September 1998 at P. T. Kariyana Gita Utama f~ Cicurug, Sukabumi, West Java. P.T. Sampico Adhi Abbattoir, Tambun Bekasi, Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor, Animal Product Technology Laboratory, Faculty of Animal Science and Faculty of Agriculture Technology Gadjah Mada University, Yogyakarta. Results showed that compensatory growth (K). fucreased Average Daily Gain, Feed efficiency, slaughtered weight, percentage of marbling, and unsaturated fatty acid. Different quality of ration (T, Sand R) did not indicated differences on ~owth performance and slaughtered yields. Time periods of fattening (WP 2, WP 3, WP 4) increased on slaughtered weight, dressing percentage, fat of carcass, percentage of marbling, tenderness of meat and unsaturated fatty acid. Optimum production of feedlot was reached at time period of fattening with compensatory growth and feed formulation was base upon consumption of CP and ME that adjusted to the nutrition requirement and considered to capital sirculation, preference of consumer and market.
Keyword:Feedlot, Feed, Compensatory growth, Fattening | Judul: Peranan Pemimpin Informal dalam Menggerakan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa
Abstrak:Pendekatan pembangunan yang banyak diterima para ahli adalah pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang berarti bahwa dalam pembangunan diperlukan keikutsertaan rakyat. Keikutsertaan tidak hanya pada tahap merencanakan pembangunan, akan tetapi juga ikut dalam melaksanakan, bahkan sampai pada menilai hasil-hasil pembangunan (Cohen dan Uphoe 1977; Dusseldorp, 1981; Slamet, 1993). Agar rakyat yang berhimpun dalam kelompok-kelompok dapat ikut serta, mereka harus memiliki sejumlah kualifikasi yang diperlukan untuk itu.
Keyword: |
Judul: Genetic Analysis and Metabolomic Study of Shade Tolerance in Tomato (Solanum lycopersicum Mill.)
Abstrak:Sistem budidaya tanaman di bawah tegakan pohon, tumpang sari atau tanaman sela pada tanaman kehutanan, perkebunan maupun pekarangan merupakan salah satu alternatif solusi dalam menjawab tantangan luas lahan optimum untuk pertanian yang semakin berkurang dan luas kepemilikian lahan petani Indonesia yang masih kecil. Adanya kekurangan cahaya (cekaman naungan) pada sistem budidaya tersebut dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme tanaman, turunnya laju fotosintesis dan penurunan produktivitas tanaman sehingga diperlukan varietas tanaman yang toleran dengan intensitas cahaya rendah dengan memiliki produktivitas yang tinggi. Tanaman tomat potensial digunakan pada sistem budidaya tersebut karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan terdapat genotipe tomat yang toleran bahkan suka terhadap cekaman naungan. Hal ini menjadikan kegiatan pemuliaan varietas tomat toleran naungan yang berdaya hasil tinggi penting untuk dilakukan sehingga diperlukan informasi tentang karakter seleksi toleransi cekaman naungan (karakter morfologi, fisiologi, metabolomit atau molekuler) dan analisis genetiknya agar kegiatan pemuliaan varietas tomat toleran cekaman naungan yang berdaya hasil tinggi dapat lebih efektif dan efisien.
Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2016 sampai dengan bulai mei 2019 di Kebun Percobaan PKHT-IPB Pasir Kuda, Ciomas, Bogor dan Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pemberian cekaman naungan dilakukan memberikan naungan paranet plastik 50%. Pengamatan metabolit sekunder dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah, DKI Jakarta.
Penelitian ini diawali dengan menentukan genotipe tomat yang akan digunakan sebagai bahan penelitian. Genotipe tomat yang digunakan pada penelitian ini yaitu genotipe tomat suka naungan (SSH3 dan Apel), genotipe toleran naungan (GIK), genotipe moderat toleran naungan (Intan), dan genotipe peka naungan (Tora IPB dan 4979). Dari genotipe-genotipe tersebut kemudian dibuat populasi persilangan Biparental dan Dialel Lengkap untuk mempelajari pewarisan sifat toleransi naungan pada tanaman tomat.
Setelah populasi persilangan diperoleh, dilakukan percobaan pertama yaitu studi analisis genetik toleransi naungan pada tanaman tomat menggunakan populasi biparental. Hasil percobaan menunjukkan bahwa karakter produktivitas, jumlah buah per tanaman, fruit set dan kehijauan daun merupakan karakter tomat yang terkait dengan toleransi cekaman naungan. Karakter-karakter tersebut lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen dominan. Adanya interaksi epistasis duplikat pada karakter-karakter tersebut menyebabkan ragam non aditif lebih berperan pada karakter-karakter tersebut kecuali pada karakter fruit set. Sebanyak lebih dari 20 segregan diseleksi berdasarkan karakter toleransi naungan dari populasi F2 persilangan Biparental. Verifikasi terhadap keduapuluh segregan tersebut, hanya diperoleh 4 segregan transgresif tomat yang toleran cekaman naungan.
Percobaan ini bertujuan untuk mendapatkan dan mengevaluasi kemajuan seleksi segregan transgesif tomat yang toleran naungan dan berdaya hasil tinggi. Seleksi dilakukan pada generasi F2 percobaan 1 menggunakan indeks seleksi dan hanya karakter hasil. Verifikasi segregan transgresif dilakukan pada generasi F3 sedangkan evaluasi respon seleksi dilakukkan sejak generasi F2 sampai generasi F4. Seleksi pada F2 menggunakan indeks seleksi menghasilkan 11 segregan transgresif putatif sedangkan menggunakan hanya karakter hasil memberikan 20 segregan transgresif putatif. Verifikasi pada populasi F3 menggunakan indeks seleksi menghasilkan 3 segregan transgresif (G370-1, G381-4, dan G384-11), sedangkan menggunakan karakter hasil hanya memberikan 4 segregan transgresif (G370-1, G376-16, G381-4, dan G384-11). Seluruh segregan transgresif menghasilkan produktivitas yang sama atau lebih baik dibandingkan genotipe tetua terbaik.
Analisis daya gabung dan analisis genetik toleransi naungan pada tanman tomat juga dilakukan menggunakan populasi persilangan dialel lengkap. Hasil dari percobaan ini juga memperlihatkan bahwa karakter produktivitas, jumlah buah per tanaman dan kehijauan daun merupakan karakter tomat yang terkait dengan toleransi cekaman naungan. Selain itu, juga dihasilkan karakter kerapatan bulu daun dan luas daun sebagai karakter terkait toleransi naungan pada tanaman tomat. Menguatkan percobaan sebelumnya, bahwa karakter-karakter tomat yang terkait toleransi naungan lebih banyak dikendalikan oleh aksi gen aditif. Adanya interaksi epistasis pada karakter-karakter tersebut kecuali luas daun menyebabkan ragam non aditif lebih berperan dibandingkan ragam aditif. Hasil analisis daya gabung memperlihatkan bahwa mekanisme toleransi yang berbeda antara genotipe tetua toleran naungan dan adanya pengaruh daya gabung khusus yang nyata pada semua karakter terkait toleransi naungan. Hasil-hasil tersebut mengindikasikan bahwa program pemuliaan tomat toleran naungan yang berdaya hasil tinggi sebaiknya diarahkan sebagai varietas tomat hibrida. Jika akan diarahkan sebagai varietas galur murni, seleksi sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut sampai gen-gen terkait toleransi naungan terfiksasi.
Analisis metabolit sekunder juga dilakukan untuk mengidentifikasi metabolit sekunder terkait toleransi cekaman naungan pada tanaman tomat. Dihasilkan 8 metabolit daun tomat yang terkait dengan cekaman naungan yaitu asam palmitat, methyl 8,11,14- heptadecatrienoate, nonadecane, fitol, hexadecane, icosanoic acid, hexadecanol, dan octadecene. Genotipe tomat toleran naungan menghasilkan fitol dan nodecane yang nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe tomat peka naungan pada kondisi tanpa naungan dan cekaman naungan. Genotipe tomat toleran naungan juga menghasilkan methyl 8,11,14- heptadecatrienoate, hexadecane, asam arakidonat yang nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe peka naungan pada kondisi cekaman naungan. Genotipe peka naungan menghasilkan asam palmitat, hexadecanol, dan octadecene yang nyata lebih tinggi dibandingkan genotipe peka naungan pada kondisi cekaman naungan
Keyword:low light stress, secondary metabolites, selection characters, response selection | Judul: Studi Genetik dan Morfofisiologi Toleransi Padi terhadap Cekaman Rendaman dan Kekeringan Mendukung Perakitan Varietas Multi Toleran.
Abstrak:Cekaman rendaman dan kekeringan merupakan cekaman yang seringkali
terjadi di lahan rawa lebak terutama lahan rawa lebak dangkal. Masalah utama pada
lahan rawa lebak ialah sulitnya memprediksi dinamika tinggi muka air sehingga
tanaman padi sering mengalami kekeringan pada musim kemarau dan terendam
akibat curah hujan setempat atau banjir kiriman dari hulu. Lahan rawa lebak
dangkal dan tengahan seringkali mengalami cekaman rendaman pada awal musim
tanamatau pada fase vegetatif dan cekaman kekeringan pada akhir musim atau pada
fase generatif, sehingga padi mengalami dua cekaman sekaligus pada satu periode
hidupnya. Luas lahan rawa lebak dangkal dan tengahan di Indonesia mencapai 7
512 800 ha. Lahan tersebut potensial untuk budidaya pertanian salah satunya
komoditas padi sebagai tanaman pangan utama masyarakat Indonesia. Pada
disertasi ini ditampilkan hasil penapisan terhadap galur-galur padi terhadap
cekaman rendaman dan kekeringan, konfirmasi toleransi padi terhadap cekaman
kekeringan menggunakan marka molekuler, penelitian karakter morfologi dan
fisiologi yang terkait dengan toleransi rendaman dan kekeringan, studi genetik padi
terkait dengan toleransi kekeringan fase generatif menggunakan populasi yang
toleran terhadap cekaman rendaman fase vegetatif, dan evaluasi galur terpilih pada
lahan rawa lebak dan lahan bercekaman ganda secara artifisial.
Tujuan pertama penelitian ini ialah mendapatkan informasi toleransi galurgalur
padi terhadap cekaman rendaman fase vegetatif dan kekeringan fase generatif.
Sebanyak 18 galur diketahui toleran terhadap rendaman dan tujuh galur yang
toleran terhadap kekeringan yang terkonfirmasi secara molekuler. Diantara galurgalur
tersebut, diperoleh tiga galur yang toleran terhadap cekaman rendaman fase
vegetatif dan sekaligus toleran terhadap cekaman kekeringan fase generatif. Ketiga
galur tersebut ialah galur 60 (BP20452e-PWK-0-SKI-3-3), galur 48 (BP20452e-
PWK-0-SKI-1-1), dan galur 56 (BP20452e-PWK-0-SKI-2-4). Berdasarkan
informasi toleransi galur-galur padi terhadap cekaman rendaman dan kekeringan
dipilih beberapa galur yang mewakili genotipe peka dan toleran salah satu maupun
kedua cekaman untuk digunakan pada studi morfofisiologi.
Tujuan kedua penelitian ini ialah mempelajari karakter morfologi, agronomi,
dan fisiologi terkait sifat toleransi dan adaptasi tanaman padi terhadap cekaman
rendaman pada fase vegetatif dan cekaman kekeringan fase generatif. Toleransi
tanaman padi terhadap cekaman rendaman maupun cekaman kekeringan diduga
berdasarkan nilai indeks kepekaan tanaman pada karakter produktivitas. Indeks
tersebut diperoleh dengan melibatkan data produktivitas pada lingkungan tidak
tercekam dan lingkungan tercekam, dimana semakin rendah indeks suatu genotipe
maka semakin toleran genotipe tersebut. Indeks kepekaan tersebut menggambarkan
perubahan produktivitas antara lingkungan tidak tercekam dengan lingkungan
tercekam. Sementara itu, adaptabilitas tanaman padi terhadap cekaman rendaman
maupun cekaman kekeringan diduga berdasarkan nilai produktivitas pada kondisi
cekaman. Berdasarkan penelitian ini diperoleh informasi bahwa karakter
v
kandungan karoten pada 5 hari perendaman, jumlah gabah isi per malai, dan
kandungan klorofil total pada 5 hari perendaman yang tinggi merupakan indikator
suatu genotipe tanaman yang adaptif terhadap cekaman rendaman fase vegetatif.
Karakter selisih tinggi bibit, jumlah gabah isi per malai, fertilitas malai, dan umur
berbunga yang rendah serta selisih kandungan prolin tajuk pada 10 hari perendaman
yang tinggi antara kondisi tidak tercekam dan kondisi rendaman merupakan
indikator sifat toleran terhadap cekaman rendaman fase vegetatif. Karakter indeks
kepekaan kekeringan (IKK) jumlah gabah hampa per malai, IKK fertilitas malai,
IKK tinggi tanaman, IKK N total, MDA dan prolin akar 15 hari kekeringan
merupakan indikator sifat toleran terhadap cekaman kekeringan fase generatif.
Karakter yang merupakan indikator toleransi dan adaptasi untuk kedua cekaman
ialah fertilitas malai dan kandungan prolin pada saat cekaman.
Tujuan ke tiga penelitian ini ialah mengetahui pewarisan toleransi kekeringan
fase generatif menggunakan populasi yang toleran terhadap rendaman fase
vegetatif. Populasi persilangan Lipigo 2 x Inpari 30 Ciherang Sub1 dianalisis
menggunakan nilai tengah enam generasi (P1, P2, F1, BCP1, BCP2, dan F2) pada
kondisi tidak tercekam dan tercekam ganda, dimana pada fase vegetatif diberi
cekaman rendaman dan pada fase generatif diberi cekaman kekeringan.
Berdasarkan percobaan pada kondisi tidak tercekam karakter panjang malai
dipengaruhi aksi gen aditif dan dominan, sedangkan karakter yang lain baik pada
kondisi tercekam maupun tidak tercekam dipengaruhi oleh aksi gen epistasis. Pada
kondisi tercekam terdapat pengaruh tetua betina pada karakter jumlah gabah isi per
malai, jumlah gabah hampa per malai, dan hasil gabah per rumpun.
Mempertahankan variasi genetik hingga generasi lanjut dapat dijadikan strategi
untuk mendapatkan hasil tinggi dan toleran terhadap cekaman kekeringan.
Tujuan ke empat penelitian ini adalah mengevaluasi galur-galur terpilih pada
kondisi sesungguhnya di rawa lebak. Hasil evaluasi selanjutnya dibandingkan
dengan hasil evaluasi kondisi artifisial menggunakan kolam rendaman dan kondisi
tidak tercekam di lahan irigasi. Hasil pengujian menunjukkan bahwa genotipe padi
yang menghasilkan produktivitas terbaik lahan rawa lebak ialah Inpara 9, sementara
pada pengujian artifisial menggunakan kolam rendaman ialah IR11T210.
Berdasarkan studi dalam disertasi ini galur 46 (IR11T210), galur 60 (BP20452e-
PWK-0-SKI-3-3), galur 48 (BP20452e-PWK-0-SKI-1-1), dan galur 56 (BP20452e-
PWK-0-SKI-2-4) dapat direkomendasikan untuk uji daya hasil lanjutan dalam
perakitan varietas multitoleran.
Implikasi dari keseluruhan rangkaian penelitian ini diantaranya ialah bahwa
sejumlah karakter agronomi terkait toleransi padi terhadap cekaman kekeringan
dikendalikan oleh aksi gen epistasis, sehingga seleksi toleransi tanaman terhadap
cekaman kekeringan hendaknya dilakukan di akhir generasi. Disamping itu,
ditemukan beberapa karakter seperti jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah
hampa per malai, dan hasil gabah per rumpun pada kondisi cekaman yang
dipengaruhi oleh tetua betina, sehingga dalam hal ini pemilihan tetua betina dalam
perakitan varietas toleran kekeringan harus menjadi pertimbangan khusus.
Berdasarkan penelitian ini juga disarankan agar penyusunan metode skrining
cekaman ganda secara buatan perlu dilakukan kembali dengan menggunakan media
yang lebih besar sehingga perlakuan kekeringan lebih mudah diatur, serta ukuran
contoh yang lebih besar pula.
Keyword:epistasis, model regresi, padi, pengaruh tetua betina, seleksi | Judul: The impact and contribution of the tourism sector to the Indonesian economy : an I-O and SAM approach
Abstrak:Tourism is an important and strategic sector for the Indonesian economy. The sector has been growing for the last two decades to enhance its contribution to the GDP, employment, regional, local economy, and to strengthen the balance of payment. In particular, a planned economy was introduced to provide substantial opportunities to utilize tourism as a mechanism for national development. As a service-based sector, tourism as also considered to be a vehicle of converting the manufacturing economy to a service economy which makes the delivery of the product rather than the creation of the product the most important thing.
Keyword: |
Judul: Model Pengelolaan Kawasan Desa Pesisir Terpadu Berbasis Sistem Sosial Ekologi (Studi Kasus : Kabupaten Subang Jawa Barat).
Abstrak:Desa pesisir memiliki karakteristik yang berbeda dengan desa di wilayah lain, desa pesisir terdapat di perbatasan antara daratan dan lautan. Desa pesisir memiliki akses langsung pada ekosistem pantai, mangrove, padang lamun, serta ekosistem terumbu karang. Secara sosial-ekologi, desa pesisir memiliki suatu keterkaitan dan ketergantungan antara aktivitas masyarakat pesisir dengan keberadaan ekosistem/ekologi. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis dan memetakan konektivitas sistem sosial-ekologi kawasan desa pesisir di lokasi penelitian (2) menganalisis dan mengidentifikasi resiliensi sosial-ekologi kawasan desa pesisir di lokasi penelitian, dan (3) menyusun model konseptual pengelolaan kawasan desa pesisir terpadu berbasis sosial-ekologi di lokasi penelitian.
Penelitian ini dilakukan di kawasan desa pesisir Kabupaten Subang yaitu Desa Blanakan, Desa Tanjungtiga, Desa Rawameneng, dan Desa Mayangan. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Juli 2016 – November 2017. Data yang dikumpulkan meliputi data ekologi dan sosial yang merupakan data primer dan data sekunder.
Parameter aspek ekologi yang diambil meliputi data ekosistem mangrove, kualitas perairan, data hasil tangkapan dan data budidaya, sedangkan parameter sosial yang diambil meliputi tingkat pendidikan, mata pencaharian, sistem kelembagaan nelayan, pengguna sumberdaya, penyedia infrastruktur, dan beberapa parameter fisik infrastruktur yang terdapat di desa pesisir. Data aspek ekologi diperoleh melalui survei lapangan dan remote sensing, sedangkan data aspek sosial dan budaya juga diperoleh melalui Focus Group Discussion (FGD) serta wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat terutama kepala desa dan tokoh adat. Analisis permasalahan sistem sosial ekologi dilakukan dengan metode DPSIR (Drive – Pressures – State – Impact – Responses), sedangkan analisis jaringan dan konektivitas sistem sosial – ekologi dilakukan secara deskriptif kuantitatif dan spasial deskriptif menggunakan peta konektivitas. Analisis resiliensi sistem sosial – ekologi dilakukan pada masing – masing desa dan konektivitasnya terhadap desa lain menggunakan perhitungan indeks resisliensi sosial – ekologi (RES). Model pengelolaan kawasan desa pesisir dirancang berdasarkan informasi sosial – ekologi dan potensi lainnya dengan menggunakan model konseptual.
Hasil penelitian berdasarkan analisis model Burkhard dan Spidergram menunjukkan bahwa interaksi dan konektivitas sistem sosial-ekologi desa pesisir Kabupaten Subang terbentuk melalui proses interaksi yang kompleks. Dalam sistem internal desa, interaksi sosial terbentuk antara pengguna sumberdaya dan penyedia infrastruktur dengan tingkat konektivitas sedang hingga sangat tinggi, interaksi ekologi terbentuk antara ekosistem perairan dan ekosistem mangrove serta adaptasi dan respon terhadap perubahan lingkungan. Interaksi sistem sosial-ekologi terbentuk melalui interaksi antara sumberdaya dan pengguna sumberdaya dengan tingkat konektivitas sangat tinggi terjadi antara nelayan dan sumberdaya ikan serta petani dan sumberdaya petani. Dalam sistem eksternal desa, sistem sosial banyak terbangun melalui interksi sosial pendidikan dan sistem nelayan dari Desa
vi
Rawameneng, Desa Tanjungtiga, dan Desa Mayangan terhadap sistem pendidikan dan kelembagaan nelayan Desa Blanakan yang kemudian terhubung dan digambarkan dalam peta dan jaringan sistem sosial-ekologi desa pesisir.
Hasil penelitian terkait indeks resiliensi dari masing-masing desa menunjukkan bahwa Desa Blanakan memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi moderat (indeks 0,526), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,654), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,600). Desa Tanjungtiga memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi rendah (indeks 0,316), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,654), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,511). Desa Rawameneng memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi rendah (indeks 0,263), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,673), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,489). Desa Mayangan memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi rendah (indeks 0,368), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,673), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,533). Berdasarkan integrasi dan konektivitas sistem sosial – ekologi, desa pesisir memiliki tingkat resiliensi sistem ekologi rendah (indeks 0,368), resiliensi sistem sosial pada kategori resilien (indeks 0,673), dan resiliensi sistem sosial – ekologi kategori moderat (indeks 0,533).
Berdasarakan hasil analisis model konseptual pengelolaan kawasan desa pesisir terpadu dengan pendekatan sistem sosial – ekologi (SES) dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Model pendekatan DPSIR+V dalam analisis permasalahan SES dapat digunakan sekaligus untuk mengetahui nilai sistem sosial – ekologi pada periode waktu tertentu (2) Model konseptual pengelolaan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan wisata dapat dilakukan di kawasan desa pesisir terpadu dalam satu pengelolaan yang terintegrasi dengan pendekatan sistem sosial – ekologi dan kebijakan baik berupa peraturan desa (PERDES) pada submodel kegiatan dan peraturan daerah (PERDA) pada model keterpaduan sektor yang berimpilikasi pada upaya perlindungan atau peningkatan ketahanan sistem sosial – ekologi.
Keyword:desa pesisir, Kabupaten Subang, resiliensi, sistem sosial – ekologi | Judul: Pengelolaan Konservasi Perairan Pulau Kecil dengan Pendekatan Pemodelan Resiliensi Sistem Sosial-Ekologi: Studi Kasus KKPD Pulo Pasi Gusung, Selayar, Sulawesi Selatan
Abstrak:Penetapan kawasan konservasi perairan laut tidak hanya mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya yang ada, terutama ekosistem terumbu karang, padang lamun, mangrove, biota yang dilindungi, habitat serta daerah pemijahan ikan dan biota lainnya. Yang perlu dipertimbangkan juga adalah aktifitas masyarakat lokal yang memanfaatkan sumberdaya tersebut.
Sebagai upaya mengatasi degradasi sumber daya kelautan di Indonesia, diperlukan suatu desain pengelolaan yang komprehensif, yang tidak hanya mempertimbangkan kemampuan sumberdaya terumbu karang untuk dapat pulih kembali setelah mengalami penurunan serta faktor-faktor pendukung lainnya juga perlu dipertimbangkan aspek sosial-ekonomi dari masyarakat yang memanfaatkannya. Desain pengelolaan ini diharapkan selain dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya juga dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
Resiliensi merupakan respon ekosistem dan jaminan terhadap terjadinya perubahan lingkungan, dan telah menjadi tujuan utama dari pengelolaan terumbu karang. Keanekaragaman hayati, keanekaragaman spasial dan konektivitas diusulkan sebagai landasan resiliensi dan jaminan terhadap ketidakpastian ekologi. Indikator empirik yang dapat dijadikan sebagai landasan resiliensi antara lain: pelaku kolonisasi ruang, mengukur keanekaragaman spasial dan kapasitas grazing.
Studi tentang analisis perikanan terumbu karang dengan pendekatan sistem sosial-ekologi masih belum banyak dilakukan. Komponen-komponen sistem yang mempengaruhi perikanan terumbu karang akan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Selain dipengaruhi oleh perbedaan kondisi alam, seperti pengaruh perbedaan musim, pengaruh kondisi oseanografi dan letak geografis, juga dipengaruhi budaya dan aktifitas masyarakat di sekitarnya.
Pendekatan sistem didalam melakukan analisis perikanan terumbu karang di KKPD Pulo Pasi Gusung dilakukan untuk melihat komponen-komponen apa saja yang mempengaruhi serta hubungan diantara komponen tersebut. Komponen dan hubungan diantara komponen tersebut membentuk suatu sistem yang khas dan berbeda dengan daerah lainnya.
Komponen aktifitas pemanfaatan sumberdaya terdiri dari penangkapan ikan secara tradisional dan penggunaan bius. Tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya terdiri dari musim, tingkat pendidikan, populasi penduduk, hasil tangkapan ikan, harga ikan dan pendapatan nelayan. Keputusan atau kebijakan yang dibutuhkan antara lain kawasan konservasi perairan dengan penetapan zona larangan pemanfaatan sumberdaya, pengawasan terhadap kawasan dan tersedianya lapang kerja alternatif selain sebagai nelayan. Keputusan yang diperoleh dari partisipasi aktif masyarakat menggambarkan kebutuhan yang sebaiknya dilaksanakan oleh pengelola KKPD Pulo Pasi Gusung untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya.
Penilaian potensi pemulihan atau resiliensi terumbu karang tidak hanya menggunakan indkator ekologi, tetapi indikator sosial dan ekonomi juga dapat
v
digunakan untuk melakukan penilaian resiliensi di Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulo Pasi Gusung, Selayar. Indeks resiliensi terumbu karang yang dikembangkan dengan pendekatan sistem sosial-ekologi menghasilkan penilaian yang tidak jauh berbeda dengan indeks kesehatan terumbu karang yang dikembangkan oleh LIPI. Kelebihan indeks resiliensi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah memperhitungkan indikator sosial dan ekonomi yang berperan didalam menentukan kondisi terumbu karang di kawasan konservasi karena aktifitas masyarakat sangat menentukan kondisi dan potensi pemulihan terumbu karang.
Berdasarkan indikator sosial dan ekonomi tersebut maka dapat menjadi acuan bagi pengambil keputusan, dalam hal ini pemerintah daerah, tentang kebijakan yang mengarah pada langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga ekosistem terumbu karang, salah satunya adalah dengan membuka lapangan kerja alternatif selain sebagai nelayan, baik nelayan tradisional maupun nelayan pengguna bius, sehingga diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang.
Pendekatan analisis sistem dapat digunakan didalam pengelolaan KKPD Pulo Pasi Gusung. Pemodelan sistem dinamik dengan pendekatan sistem sosial-ekologi digunakan didalam penelitian ini untuk menggambarkan keragaan dari dimensi sosial, ekonomi dan ekologi di KKPD Pulo Pasi Gusung.
Studi tentang resiliensi spasial, terutama untuk ekosistem terumbu karang dengan pendekatan sistem sosial-ekologi masih sangat terbatas. Diperlukan data dan informasi yang cukup, baik secara spasial dan temporal, untuk dapat melakukan kajian tersebut. Operasionalisasi resiliensi menjadi prioritas global didalam pengelolaan ekosistem. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menghitung resiliensi menggunakan pendekatan model ekologi spasial.
Skenario pengelolaan dengan mengintegrasikan pengelolaan KKPD terpadu antara pengelolaan kawasan dan tersedianya pekerjaan alternatif bagi nelayan merupakan skenario yang ideal akan tetapi membutuhkan pembiayaan yang tinggi dan upaya yang besar, dimana pengawasan yang dilakukan selama 20 hari dalam sebulan dan 6 jam setiap harinya; tersedianya lapangan pekerjaan hingga 45% dari populasi nelayan; dan luasan no-take zone area hingga 40 % dari luas terumbu karang, yaitu 229,756 hektar.
Skenario bertahap direkomendasikan untuk dapat dimplementasikan didalam pengelolaan KKPD Pulo Pasi Gusung, dimana akan diperoleh hasil yang optimal dengan upaya dan anggaran yang tidak terlalu besar, yaitu pada 3 tahun pertama tersedia pekerjaan lain yang mencapai 45 % dari populasi nelayan, 3 tahun berikutnya penetapan no-take zone area mencapai 40 % dari luas terumbu karang dan tahun berikutnya pelaksanaan pengawasan selama 6 jam setiap hari yang dilakukan selama 20 hari setiap bulannya.
Model spasial resiliensi terumbu karang dapat digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap zonasi suatu kawasan konservasi perairan laut, dimana lokasi yang memiliki potensi resiliensi tinggi ditetapkan zona inti.
Keyword:kawasan konservasi perairan, sistem dinamik, antioksidansistem sosial-ekologi | Judul: Anticancer activity of green leaf gel cincau ( Premna oblongifolia Merr) powder via apoptosis and antiproliferation pathway in C3H mice transplanted with breastcancer cell
Abstrak:Green leaf gel Cincau (Premna oblongifolia Merr) powder is a rich sources of various phytochemicals including alkaloid, saponin, flavonoid, chlorophyl dan carotenoid. In this research the gel extracted from Cincau leaf and made into powder. Green leaf gel Cincau powder activity was conducted on C3H mice were transplanted with breastcancer of Mouse Mamary Tumour Viruses (MMTV). The objectives of the research are to investigate the effect of green leaf gel Cincau on apoptosis and proliferation inhibitions in C3H mice and explored its mechanism.
Keyword: |
Judul: Preferensi Ekologis Ki Lemo (Litsea cubeba Lour. Persoon) di Gunung Papandayan Jawa Barat dan Hubungannya dengan Kandungan Minyak Atsiri
Abstrak:Areal-areal bekas gangguan di Gunung Papandayan telah mengalami perubahan komposisi jenis dan struktur komunitas tumbuhan, sejak terjadinya gangguan pada 5–7 tahun yang lalu. Kondisinya sudah sangat berbeda dengan hutan-hutan yang tidak terganggu. Areal-areal bekas perambahan dan bekas kebakaran cenderung mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan hadirnya jenis-jenis pohon pionir yang mendominasi areal, diantaranya adalah Paraserianthes lophantha, Litsea cubeba, Vaccinium varingifolum, Homalanthus populneus, dan Schima wallichii. Kondisi struktur tegakan juga terlihat jelas mengalami perubahan dari pohon-pohon besar dan multistrata ke pohon-pohon berukuran kecil yang terpusat pada strata C (T = 4–10 m) dan D (T = 10–20 m). Keanekaragaman jenis pohon mengalami penurunan dari H’ lebih dari 2 pada hutan tidak terganggu, menjadi rendah (H’ < 2). Hal lainnya dari perubahan komunitas tumbuhan pada areal-areal bekas gangguan adalah hadirnya Litsea cubeba (Ki lemo: Sunda; Kranggean: Jawa; Attarasa: Sumatera) yang merupakan salah satu jenis pionir dengan kemampuan okupasi tinggi dan secara visual mampu berkompetisi dengan jenis-jenis invasif. Kehadiran pohon ini menjadi penting untuk diteliti, selain karena peran pentingnya sebagai bagian dari dinamika komunitas tumbuhan, juga karena pohon ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi dengan kontribusi minyak atsirinya (minyak lemo atau minyak kranggean atau may chang oil) yang sangat dikenal secara internasional untuk industri farmasi dan kosmetika. Penelitian ini merupakan kombinasi studi ekologi dan studi kandungan minyak atsiri. Hasil penelitian bermanfaat untuk pertimbangan budi daya dalam rangka mendukung industri biofarmaka di Indonesia. Hal ini penting untuk dilakukan, mengingat sampai saat ini Indonesia sebagai salah satu pemilik potensi bahan baku L. cubeba yang cukup besar, belum berperan banyak pada sektor industri minyak atsiri dunia. Di Jawa Barat, sedikitnya terdapat empat wilayah sebaran alami pohon L. cubeba tepatnya di daerah pegunungan, yaitu Gunung Ciremai, Patuha dan Papandayan. Sebaran lainnya di Indonesia dijumpai di Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Kalimantan Timur (Steenis 2006; Heryati et al. 2009). Hasil studi ekologi menunjukkan bahwa L. cubeba dijumpai mendominasi areal-areal bekas gangguan yang tersebar di zona montana (1500–2500 mdpl) dan memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap faktor-faktor iklim (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya). Kecocokan pohon ini terhadap areal tersebut terlihat dari berbagai karakteristik, yaitu memiliki kelimpahan dan okupasi yang tinggi, serta berasosiasi secara positif dengan jenis-jenis pohon lainnya. Hasil pengujian laboratorium diperoleh nilai rendemen minyak atsiri yang sangat tinggi dan bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya di Indonesia dan di Cina. Rendemen yang diperoleh dari 17 lokasi tempat tumbuh bervariasi pada rentang mulai dari 2.76 sampai 9.33 %, tetapi sebagian besar berada pada kisaran antara 6 sampai 8 % . Rendemen minyak atsiri hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian Zulnely et al.(2003) di Gunung Ciremai Jawa Barat sebesar 5.4 % , Ho et al. (2010) sebesar 4 % dan Si et al. (2012) di Cina sebesar 4.56 %. Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa komposisi senyawa minyak atsiri L. cubeba cenderung berbeda antar bagian pohon, sehingga masing-masing bagian memiliki kekhasan senyawa tertentu. Pada bagian daun dijumpai senyawa kimia dominan berupa sineol, sabinen dan α-terpinenyl asetat. Pada buah didominasi oleh sitral, dan pada kulit batang lebih banyak didominasi oleh sitronelal. Secara umum komposisi senyawa ini relatif sama dengan hasil penelitian lainnya, tetapi dari segi senyawa dominan cenderung berbeda. Hal tersebut menjadikan minyak lemo asal Gunung Papandayan memiliki kekhasan tertentu dibandingkan dengan wilayah lainnya. Hasil pengujian hubungan antara tipe-tipe habitat dan kandungan minyak atsiri diperoleh informasi bahwa variasi tipe habitat memiliki kaitan yang erat dengan rendemen minyak lemo, tetapi tidak demikian terhadap kandungan senyawa kimianya. Hasil ini membuktikan bahwa bervariasinya nilai rendemen sangat bergantung pada tipe habitat L. cubeba. Hasil pengujian lebih lanjut menggunakan stepwise regression terhadap 32 faktor biofisik habitat (mencakup iklim, topografi, ketinggian tempat dan faktor-faktor tanah, serta dimensi pertumbuhan pohon) dalam kaitannya dengan minyak atsiri yang dihasilkan, diperoleh lima faktor yang berperan terhadap rendemen dan lima faktor lainnya berperan terhadap kandungan senyawa kimia minyak atsiri. Dari sepuluh faktor yang berperan penting terhadap minyak atsiri tersebut, sembilan faktor diantaranya merupakan faktor-faktor tanah dan satu faktor lainnya adalah lereng (kemiringan lahan). Lima faktor habitat berpengaruh nyata terhadap rendemen, sebagaimana persamaan regresi: Yrendemen = 8,2667 – 0,199 X1 (rasio C/N) – 0,984 X2 (kandungan Fe) + 0,042 X3 (lereng) + 0,091 X4 (porsi liat tanah) + 0,102 X5 (air tersedia dalam tanah). Lima faktor lainnya secara signifikan berpengaruh terhadap kandungan senyawa minyak lemo disajikan dengan persamaan regresi: Ykandungan_senyawa = 67,687 – 0,232 X1 (ruang pori total) + 12,263 X2 (kandungan S dalam tanah) - 0,297 X3 (air tersedia) + 14,804 X4 (kandungan N dalam tanah) - 2,381 X5 (kandungan Mg dalam tanah). Berdasarkan seluruh seri penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa L. cubeba memiliki preferensi ekologis terhadap faktor-faktor tertentu di habitat alaminya dalam mendukung produksi minyak atsiri. Rekomendasi dari penelitian ini adalah bahwa dalam pengembangan budi daya L. cubeba perlu memperhatikan pertimbangan umum dan pertimbangan khusus. Pertimbangan umum dalam hal ini terkait dengan karakteristik lokasi tempat tumbuh pohon, mencakup ketinggian tempat dan kisaran faktor-faktor iklim. Pertimbangan khusus, yaitu bahwa rancangan pola budi daya tanaman perlu merekayasa lokasi agar peran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rendemen dan kandungan senyawa kimia dapat dikondisikan sesuai hasil pengujian di atas.
Keyword:Faktor-faktor habitat, Litsea cubeba, minyak atsiri, preferensi ekologis | Judul: Kajian Produksi, Mutu dan Minyak Atsiri Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.) dengan Perbedaan Teknik Budidaya dan Pasca Panen
Abstrak:Tanaman jeruk purut (Citrus hystrix DC.) merupakan salah satu anggota
keluarga Rutaceae yang kalah populer dengan jenis-jenis jeruk penghasil buah
seperti keprok, siam dan pamelo. Jeruk purut belum banyak dibudidayakan
meskipun potensi pemanfaatannya cukup beragam, terutama bagian daunnya yang
digunakan sebagai bumbu dapur dan bahan baku minyak atsiri. Kebutuhan jeruk
purut diduga terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
perubahan gaya hidup milenial yang lebih sehat. Produksi jeruk purut Indonesia
masih kalah dengan Thailand yang dikenal sebagai eksportir terbesar jeruk purut di
dunia. Hal ini diduga terkait dengan masih sempitnya luas panen jeruk purut dan
rendahnya produksi aktual pada pertanaman yang ada. Oleh karena itu disusun
beberapa percobaan paralel dengan tujuan umum untuk meningkatkan produksi,
baik secara kuantitas maupun kualitas, pada produk daun segar dan minyak atsiri
daun jeruk purut.
Satu-satunya daerah yang dilaporkan sebelumya sebagai daerah sentra
budidaya jeruk purut adalah Tulungagung, Jawa Timur. Petani setempat
menerapkan praktik budidaya semi intersif berupa perpaduan antara teknik
budidaya tradisional dan konvensional. Daun segar merupakan produk utama,
sedangkan produk turunannya berupa tepung daun dan minyak atsiri, serta produk
sampingan berupa buah dan batang pasca panen. Produksi daun petani
Tulungagung diperkirakan sebesar 0.1 kg per tahun per tanaman, dengan siklus
panen setiap 6 bulan sekali. Penanganan pasca panen cukup sederhana meliputi
pemisahan daun dari batang (mitil), penimbangan dan pengemasan dengan karung,
tanpa ada perlakuan pendinginan. Harga daun jeruk purut per kg di tingkat petani
adalah Rp 6 000 – 7 000, di tingkat pengepul Rp 9 000 – 10 000, di tingkat pedagang
besar Rp 11 000 – 12 000 dan di tingkat pedagang kecil Rp 14 000 – 16 000. Daun
jeruk purut petani Tulungagung sebagian besar dijual ke pasar tradisional, dengan
jangkauan lokal Tulungagung hingga ibu kota Jakarta.
Daun adalah komponen utama yang dipanen dari tanaman jeruk purut
sehingga ukurannya begitu menjadi perhatian. Pengukuran luas dan bobot daun
dapat dilakukan dengan mudah, murah dan tanpa harus merusak tanaman (non
destruktif). Model terpilih untuk pendugaan luas dan bobot daun jeruk purut yang
mudah, murah dan non destruktif pada penelitian ini menggunakan peubah penduga
sederhana yakni panjang total (PT) daun dengan jenis regresi berupa zero intercept
polynomial. Persamaan matematika dari model terpilih yakni (i) luas daun (cm2) =
0.1997 (PT)2 + 0.4571 (PT); (ii) bobot daun (g) = 0.0067 (PT)2 + 0.0065 (PT).
Rendahnya produksi daun jeruk purut di fase awal pertanaman disebabkan
oleh lambatnya pertumbuhan tanaman, terlebih pada kondisi terpapar cahaya
matahari penuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh faktor naungan
terhadap produksi daun dan fisiologi tanaman jeruk purut lebih dominan
dibandingkan pemangkasan. Pemangkasan dapat meningkatkan jumlah tunas baru
dan mereduksi tinggi tanaman. Penggunaan naungan dapat meningkatkan laju
v
pertumbuhan, jumlah daun dan produksi daun per pohon. Perbaikan respon tersebut
disebabkan oleh peningkatan laju fotosintesis, konduktansi stomata dan efisiensi
penggunaan air pada tanaman ternaungi. Naungan 24% lebih direkomendasikan
dari pada naungan 43% karena lebih efektif dan efisien untuk peningkatan
pertumbuhan dan produksi daun jeruk purut.
Optimasi dosis pupuk nitrogen pada budidaya jeruk purut di bawah naungan
pasca pemangkasan taraf berat pada saat panen dirasa perlu untuk dilakukan untuk
menjamin produksi daun jeruk purut di musim selanjutnya. Pemangkasan panen
dengan menyisakan batang pokok setinggi 30 cm mendukung respon pertumbuhan
dan bobot basah daun yang lebih baik dibandingkan tinggi pangkas panen 10 cm.
Terdapat peningkatan laju pertumbuhan relatif dan keragaan tanaman akibat
pemupukan N. Namun pengaruh dari dosis 20 g N tidak berbeda nyata dengan dosis
40 g N per tanaman. Dosis optimum untuk produksi daun purut di bawah naungan
24% adalah 35 g N per tanaman dengan hasil maksimum 58.33 g per tanaman.
Minyak atsiri merupakan produk turunan daun jeruk purut yang cukup
potensial dikembangkan di Indonesia. Kualitas minyak dapat dipengaruhi oleh
karakteristik lokasi tumbuh tanaman jeruk purut. Rendemen minyak atsiri tertinggi
yakni 1.5% didapatkan dari Bogor, sedangkan yang terendah yakni 0.78%
didapatkan dari Tulungagung. Rendemen berkorelasi positif dan signifikan
terhadap curah hujan, status C-org dan pH tanah serta kadar hara N, P dan Mg.
Kecukupan air, kesesuaian sifat media tanam (pH), ketersediaan hara makro
mendukung produksi minyak atsiri daun purut. Kadar citronellal berkorelasi positif
dan signifikan terhadap pH aktual tanah dan kadar hara Ca daun dan berkorelasi
negatif terhadap hara mikro Fe dan Mn.
Aroma merupakan atribut mutu yang paling menentukan tingkat kesukaan
terhadap produk daun purut. Dari ketujuh produk yang diuji, daun bagus menjadi
produk terfavorit. Daun bagus dihasilkan pasca sortasi dengan ciri berbentuk
normal, tampak segar, bersih dari kotoran dan tidak mengalami kerusakan.
Penyimpanan suhu beku (-20 oC) dapat mempertahankan kualitas warna dan tekstur
daun purut lebih baik dibandingkan penyimpanan suhu rendah (5 oC). Bubuk daun
purut sebaiknya dibuat dari daun berwarna hijau, bukan dari daun coklat, karena
daun coklat tidak disukai panelis. Perlakuan pasca panen (pengovenan, pengeringanginan
dan pembubukan) pada bubuk daun hijau, bubuk daun coklat dan daun
kering coklat menyebabkan penurunan rendemen, peningkatan bobot jenis dan
indek bias serta membuat warna minyak menjadi lebih gelap.
Minyak atsiri daun jeruk purut dilaporkan memiliki banyak kegunaan selain
sebagai wewangian. Hasil bioautografi antioksidan menunjukkan beberapa noda
dibawah sinar tampak pada pelat bewarna latar ungu pasca penyemprotan DPPH
0.2%. Perbedaan persentase relatif caryophyllene antar sampel diduga menentukan
variasi aktifitas antioksidannya. Hasil bioautografi antibakteri menunjukkan bahwa
semua sampel minyak atsiri memiliki aktifitas antibakteri namun senyawa
citronellal murni tidak. Perbedaan pengaruh antibakteri tersebut diduga
berhubungan dengan persentase relatif senyawa citronellol, caryophyllene, eugenol
dan myristicin pada minyak atsiri daun jeruk purut.
Keyword:citronellal, citronellol, naungan, pemangkasan, nitrogen | Judul: Pengembangan kekekaran Model Additive Main Effect – Multiplicative Interaction (AMMI)
Abstrak:AMMI model for interactions in two-way table provide the major mean for studying stability and adaptability through GEI, which modeled by full interaction model. Eligibility of AMMI model depends on the assumption of normally independent distributed error with a constant variance. Nowadays, AMMI models have been developed for any condition of MET data i.e the violence of normality and homegeneity assumptions. We can mention in this class of modelling as MAMMI for Mixed AMMI model and GAMMI for Generalized AMMI model. GAMMI model handles non-normality i.e categorical response variables using an algorithm of alternating regression. While handling the non-homogeneity in mixed-models sense, one may use a model called factor analytic multiplicative for a MAMMI models. Outlier might be found in the data coincides with non-homogeneity variance. A method of handling outlier in additive and multiplicative modeling by applying Robust Alternating Regression (RAR) in FANOVA model. RAR FANOVA model was downweighting outlying scores and loadings in the k-dimensional spaces of scores and loadings, and robust estimator will be minimized under the constraints that are consistent with robust approach of the median of parameters. Application of GAMMI was found in several distribution of exponential family. The most interesting here is Poisson distribution which it has a unique property of equal mean and variance. Many zero observations make some dificulties and fatal consequence in Poisson modeling. We consider to facilitates an analysis of two-way tables of count with many zero observations in AMMI model. We develop GAMMI model for Poisson with zeroes problem, by a statistical framework of RCAM. Some link function apply to the mean of a cell equalling a row effect plus a column effect plus interaction terms are modelled as a reduced-rank regression with rank of 2, then it will be visualized by Biplot through SVD reparameterization. The ZIP-GAMMI model handle the excess-zero and also the overdispersion at once. The interaction structures are extracted from the non-zero cell. ZIP model provide us the probability become zero and the fitted value of the Poisson. The modelling scheme involves two important things: (1) the distribution (and link-function) and (2) the rank of model. Both are confounded, especially if there is overdispersion or excess-zero. Best-model fit can be provided by proper link function with respect to data’s distribution, at the same time it’s also possible by the rank of the model in decomposing the interaction terms. In this case the likelihood ratio test provides us the hypothesis testing.
Keyword: |
Judul: Pembentukan diosgenin pada kultur kalus Dioscorea bulbifera L.
Abstrak:Tujuan penelitian adalahmempelajari aspek-aspekk IPB Untersin kondisi kultur jaringan Ckultur kalus) tanaman Dioscorea bulbifera L., untuk pembentukan diosgenin secara optimum. Pendekatan permasalahan dilakukan sebagai berikut : (1) mendapatkan sumber eksplan yang berkemampuan mensintesis dan mengakumulasikan diosgenin, (2) mencari kondisi medium kultur untuk pertumbuhan sel yang optimum, (3) memanipulasi lingkungan kultur dengan perlakuan zat pengatur tumbuh, komponen nutrisi, pemberian prekursor dan cahaya untuk merangsang biosintesis diosgenin. Penelitian dilakukan secara bertahap, seluruhnya ada 6 percobaan dengan urutan sebagai berikut : Percobaan pertama mencari komposisi medium untuk pertumbuhan kalus yang dapat menghasilkan diosgenin. Dengan menggunakan medium dasar Murashige dan Skoog (MS) yang telah dimodifikasi, diuji beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh auxin (2.4-D, IAA dan NAAD serta sitokinin (BAP). Hasilnya menunjukkan bahwa medium MS yang diperkaya dengan 1 ppm 2.4-D dan 0.1 ppm BAP menunjukkan medium yang produksi diosgenin.
Setelah periode inkubasi 5 minggu, produksi bobot kering kalus jaringan bulbil mencapai 12.04 g dengan kandungan diosgenin 211.2 µg/g bobot kering. Percobaan kedua : mempelajari pertumbuhan kalus dari ber- bagai jaringan tanaman (bulbil, ruas batang dan daun). Pe- nampilan kalus dari ke-3 jaringan tidak banyak berbeda, warnanya putih kekuningan dan strukturnya friable. pertumbuhan maupun kurva ketiga jaringan kalus dengan masa inkubasi. kalus jaringan Akumulasi Kur va total kandungan diosgenin dari memperlihatkan bentuk kuadratik Di antara ketiga jaringan kalus, bulbil paling mendekati diosgenin tertinggi tercapai pertumbuhan bobot kering mulai menurun. pola diphasic. pada saat
Percobaan ketiga: pertumbuhan bulbil. dan Hasil peranan faktor fisik cahaya terhadap pembentukan pengamatan diosgenin sel ama 10 kalus minggu jaringan menunjukkan bahwa cahaya mengurangi pertumbuhan bobot kering kalus dan menekan pembentukan diosgenin. Cahaya merangsang pemben- tukkan pigmen (klorofil) sehingga mengurangi ketersediaan metabolit diosgenin.
Keyword:Allelopathy;, Catharanthus roseus;, Solanum khasianum;, S. laciniatum; | Judul: To increase diosgenin content in Costus specious (Koen) Sm., through tissue culture
Abstrak:Plant tissue culture techniques are profitably used to produce secondary metabolites. Cosfus speciosus plants have a potential ability to produce diosgenin, which is used as a raw material in steroid industries. The aims of this study were to obtain the best explants as a source of callus, and to increase its productivity through suspension and callus culture. Four experiments were carried out in Plant Physiology laboratory at Bogor Research Institute for Eetate Crops from April 1985 to December 1986.
Keyword: | Judul: Design of strategic management model of snack’s micro and small enterprises performance evaluation
Abstrak:Competitiveness of Micro and Small Enterprises (MSE) depends on total business performance. Those performance could be managed effectively and efficiently if it was supported by an optimal performance evaluation process, that was consisted of measurement and improvement model. The performance evaluation model was developed through strategic management system approach, where experts knowledge were acquired by brainstorming and in depth interview methods. Some of technique utilized were validity and reliability test, Ordered Weighted Averaging (OWA) Operators, Fuzzy Analytic Hierarchy Process, Balanced Score card (BSC), Quality Function Deployment (QFD), and Neural Network.
Keyword:expert management system, strategic management system, bussines performance, balanced scorecard |
Judul: Desain Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Pada Kawasan Konservasi Perairan Di Kabupaten Kepulauan Anambas
Abstrak:Sebagian Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) sejak tahun 2014 berdasarkan KEPMEN No. 37 tahun 2014. Penetapan itu memberikan konsekuensi kepada KKPN Kepulauan Anambas sebagai salah satu wilayah penangkapan yang terletak di WPP 711 harus menjaga keberlanjutan baik keberlanjutan (1) kualitas habitat dan sumberdaya ikan, (2) aktivitas dan nilai yang telah berkembang di masyarakat lokal serta pendapatan dan mata pencaharian masyarakat serta (3) meningkatkan kapasitas lokal baik ditingkat masyarakat maupun kelembagaan.
Permasalahan perikanan tangkap yang terjadi di KKPN Kepulauan Anambas yaitu adanya gejala lebih tangkap yang ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah upaya penangkapan yang tidak dibarengi dengan produksi penangkapan, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil, dan lokasi penangkapan yang semakin jauh hingga melebihi batas perairan kabupaten. Selain itu, permasalahan mengenai rusaknya ekosistem akibat aktivitas penambangan karang dan penangkapan ikan yang merusak pada beberapa tahun lalu. Dengan adanya pembentukan KKPN Kepulauan Anambas, maka perlu diperhatikan bahwa pengelolaan perikanan selanjutnya harus diatur berdasarkan zonasi agar pemanfaatan perikanan memperhatikan keberlanjutan. Permasalahan tersebut menggambarkan bahwa sangat minimnya upaya pengelolaan perikanan di KKPN Kepulauan Anambas sehingga perlu diatur strategi pengelolaan dengan pendekatan ekosistem agar tetap mempertahankan keberlanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) menganalisis aktifitas perikanan tangkap di KKPN Kepulauan Anambas, (2) menilai kinerja pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, (3) menentukan alokasi optimal unit penangkapan ikan di KKPN Kepulauan Anambas, dan (4) merumuskan desain pengelolaan perikanan tangkap di Kawasan Konservasi.
Jenis data yang diperoleh yaitu data sekunder dan data primer yang dilakukan dengan observasi secara langsung di lapangan melalui hasil wawancara dan survei. Teknik pengambilan data dilakukan dengan metode in-depth interview, dimana semua informasi penting tentang perikanan didapatkan dari informan yang menguasai permasalahan perikanan tangkap. Analisis data yang digunakan yaitu, analisis fungsi nilai untuk penentuan komoditas unggulan dan pemilihan teknologi penangkapan, Model Linear Goal Programming untuk optimasi unit penangkapan, Pendekatan EAFM untuk penilaian aktivitas penangkapan ikan, tools E-KKP3K untuk penilaian kinerja pengelolaan KKPN Kepulauan Anambas dan metode deskriptif untuk menyusun model pengelolaan perikanan tangkap.
Hasil penilaian kondisi pengelolaan perikanan dengan indikator pada EAFM sebagai metode penilaian perikanan berbasis ekosistem didapatkan bahwa KKPN Kepulauan Anambas termasuk dalam kategori baik. Sedangkan penilaian kinerja pengelolaan dengan menggunakan E-KKP3K didapatkan bahwa status pengelolaan yang telah dilakukan di KKPN Kepulauan Anambas berada pada katagori hijau yang berarti pengelolaan KKPN Kepulauan Anambas masih minimum. Hasil penilaian analisis fungsi nilai menyebutkan bahwa komoditas unggulan sumberdaya perikanan di Anambas yaitu kerapu, cumi, tongkol, tenggiri, dan kuwe. Pemilihan alat tangkap yang tepat sesuai aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan adalah menggunakan pancing ulur, kemudian berturut-turut pancing tonda, bagan, dan terakhir bubu. Alokasi jumlah unit penangkapan optimum yang digunakan dalam penangkapan komoditas unggulan yaitu 2371 untuk pancing ulur, dan 70 untuk bagan, 2 pancing tonda dan 967 bubu.
Desain pengelolaan perikanan tangkap di KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas adalah: a) Pengelolaan SDI tangkap harus sesuai dengan daya dukung sumber daya tersebut dalam hal ini potensi perikanan di KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas, b) Jumlah alat tangkap yang harus ada di KKPN Kepulauan Anambas yaitu 2371 untuk pancing ulur, dan 70 untuk bagan, 2 pancing tonda dan 967 bubu, dan c) Semua pemangku kepentingan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengelolaan KKPN Kabupaten Kepulauan Anambas. Dalam upaya implementasi desain pengelolaan perikanan tangkap di KPPN Kabupaten Kepulauan Anambas diperlukan Desain kelembagaan pengelolaan perikanan. Desain pengelolaan perikanan tangkap yang perlu diterapkan di KKPN Kepulauan Anambas yaitu bagaimana kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap dalam kawasan konservasi perairan yang telah diatur berdasarkan sistem zonasi. Kelembagaan ini harus menyeimbangkan peran pemerintah daerah sebagai pemegang kuasa atas wilayah perairan Kabupaten serta Satker Loka KKPN Pekanbaru sebagai pemegang kuasa pengelolaan kawasan konservasi dengan menyatukan persepsi mengenai pengelolaan perikanan. Adapun konsep hubungan interaksi pengelola disusun berdasarkan pendekatan triple helix.
Keyword:Desain, kawasan konservasi perairan, Kabupaten Kepulauan Anambas, pengelolaan, perikanan tangkap | Judul: Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Selat Dampier , Kabupaten Radja Ampat
Abstrak:Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber
daya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan. Kawasan Konservasi Perairan di
dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 jo UU No 45 Tahun 2009
dikategorikan menjadi 4, yaitu : (a) Taman Nasional Perairan, (b), Suaka Alam
Perairan, (c) Taman Wisata Perairan, (d) Suaka Perikanan. Berdasarkan Keputusan
Menteri Kelautan RI No. 36/KEPMEN-KP/2014 tentang Kawasan Konservasi
Perairan Kepulauan Raja Ampat di Propinsi Papua Barat menetapkan sebagian
wilayah perairan Raja Ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan. Selanjutnya
kawasan tersebut dikelola sebagai Taman Wisata Perairan . Taman Wisata Perairan
(TWP) adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan
bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. Taman Wisata Perairan Kepulauan
Raja Ampat tersebut terdiri atas 5 area yakni : Perairan Kepulauan Ayau-Asia ,
Teluk Mayalibit , Selat Dampier , Perairan Kepulauan Misool serta Perairan
Kepulauan Kofiau dan Boo.
Penelitian dilaksanakan pada salah satu Taman Wisata Perairan di Selat
Dampier, Kabupaten Raja Ampat. Data yang diambil dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. Pengumpulan dengan purposive sampling melalui
wawancara dan pengisian kuesioner responden, dan pengamatan lapangan
(observasi), juga dari berbagai instansi di Kabupaten Raja Ampat Aspek yang
diamati meliputi aspek-aspek: biofisik; sosial, ekonomi, dan budaya; dan
Kelembagaan . Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap pengambilan data yakni:
Oktober - November 2016 dan Oktober – November 2017. Tujuan umum dari
penelitian ini adalah mengevaluasi status keberlanjutan dari pengelolaan kawasan
konservasi (zona inti, zona wisata dan zona perikanan) di Selat Dampier . Penelitian
ini memiliki empat tujuan khusus, yakni: (1.) menganalis kondisi karang dan
biodiversitas ikan karang serta biomasa ikan karang pada zon inti, zona wisata dan
zona perikanan tradisional; (2) menganalisis efektivitas zonasi dalam pengelolaan
perikanan karang di Selat Dampier ; (4) menentukan tingkat keberlanjutan
pengelolaan zona inti, zona wisata dan zona perikanan tradisional di kawasan
konservasi Selat Dampier ; (4) merumuskan strategi pengelolaan zona inti, zona
wisata, zona perikanan tradisional di KKPD Selat Dampier.
Efektivitas zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi diukur dari
kelimpahan ikan di setiap zona, tingkat kepatuhan nelayan terhadap zonasi, dan
pelanggaran zonasi yang terjadi. Sistem zonasi pada pengelolaan kawasan
konservasi di perairan KKP Selat Dampier dapat dikatakan cukup efektif terlihat
dari kelimpahan ikan dan biomasa yang cukup tinggi pada zona inti dan zona
wisata, serta tingkat kepatuhan nelayan yang cukup tinggi pada masing-masing
desa serta perspektif nelayan tentang zonasi yang berada pada kategori baik.
Namun penegakan hukum perlu ditegakan karena masih ditemukannya beberapa
kasus nelayan dari luar desa zona wisata masih kedapatan melakukan penangkapan
dengan jaring insang dasar di zona wisata Saonek, serta melakukan penangkapan
dengan alat pancing di zona inti desa Friwen
Hasil analisis data menggunakan MDS mendapatkan bahwa pengelolaan
kawasan konservasi pada zona wisata berada pada level berkelanjutan sedangkan
pada zona inti dan zona perikanan berada pada level yang kurang berkelanjutan .
Untuk zona inti dan zona perikanan dimensi yang berada pada level cukup
berkelanjutan hanya ekologi dan lingkungan sedangkan dimensi yang lain, yakni
ekonomi, sosial, budaya , dan kelembagaan berada pada level kurang berkelanjutan.
Hasil tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan kawasan zona inti dan zona
perikanan di KKPD Selat Dampier lebih menonjolkan perlindungan/konservasi
terhadap sumberdaya hayati perairan tetapi masih sangat sedikit memberikan
perhatian terhadap aspek manusia. Oleh karena itu, untuk mencapai sistem
pengelolaan yang berkelanjutan maka harus memberikan fokus yang seimbang
bagi semua dimensi.
Strategi pengelolaan yang disarankan untuk menjaga keberlanjutan
pengelolaan zona inti, zona wisata dan zona perikanan adalah (1) peningkatan
kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan pada ketiga zona melalui penegakan
hukum yang tegas seperti pelarangan kegiatan penggunaan alat tangkap dasar yang
merusak sumberdaya terumbu karang; (2) penciptaan pasar yang konstinyu bagi
nelayan tangkap dan pemilik homeatay wisata, ; (3) melibatkan
nelayan/masayarakat dalam pengeloaan KKP secara aktif , serta sinergnitas
intra/antar lembaga di setiap stakeholder KKP Selat Dampier.
Keyword:Kawasan konservasi, ikan karang, efektivitas zonasi, keberlajutan dan strategi pengelolaan | Judul: Characteristics of soil with clay accumulation horizons in sedimentary and volcanic rocks.
Abstrak:A study of soil with clay accumulation horizon was conducted on 10 pedons of ultisols, alfisols, inceptisols derived from sedimentary and volcanic rocks. The investigation was aimed to study the characteristics of soil with clay accumulation horizons through the use of physical,chemical, mineralogical, macro- and micro-morphological data. Soil morphology and particle size distributions indicated that not all of the B horizons of pedons sampled meet the argilic horizon definition.
Keyword: |
Judul: Potential of Adenostemma lavenia, A. madurense, and A. platyphyllum as Antimicrobials: Metabolomics, In silico and In vitro Approaches, and Extraction Optimization
Abstrak:Adenostemma (legetan warak) secara tradisional digunakan sebagai ramuan obat
untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti radang paru-paru,
pneumonia, demam, hepatitis, inflamasi, luka pada kulit, dan gangguan kesehatan mulut.
Senyawa diterpenoid kaurena hasil isolasi A. lavenia mampu menginduksi ekspresi
protein antioksidan Heme Oxygenase (HO-1) melalui faktor transkripsi Nuclear Factor-E2-Related Factor 2 (NRF2) pada sel melanoma mencit yang diusulkan sebagai salah
satu target seluler bagi penyembuhan pasien Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Namun, belum ada penelitian mengenai potensi antimikroba dari Adenostemma. Maka,
fokus penelitian ini adalah mengkaji potensi antimikroba khususnya antivirus dan
antibakteri terhadap tiga spesies Adenostemma yang paling sering diteliti, yaitu A.
lavenia, A. madurense, dan A. platyphyllum melalui pendekatan metabolomik, in silico,
dan in vitro, serta optimasi ekstraksi. Penelitian ini dibagi dalam lima tahap, yaitu (1)
literature review mengenai genus Adenostemma, (2) evaluasi karakter morfologi,
fenolik, dan flavonoid pada tiga spesies Adenostemma (3) uji in silico antivirus COVID 19, (4) pemprofilan metabolit tiga spesies Adenostemma dengan pendekatan
metabolomik dan uji in silico antibakteri, (5) optimasi ekstraksi untuk mendapatkan
ekstrak teraktif antibakteri secara in vitro.
Kajian literatur mengenai genus Adenostemma menunjukkan bahwa A. lavenia, A.
madurense, dan A. platyphyllum merupakan spesies Adenostemma yang paling sering
diteliti dan dilaporkan. Beberapa laporan mengenai kandungan senyawa kimia dan
bioaktivitasnya telah dipublikasi seperti antioksidan, anti-inflamasi, antimelanogenesis,
dan antitumor, tetapi bioaktivitas lain seperti antimikroba belum pernah dilaporkan. A.
lavenia terdapat di beberapa provinsi di Indonesia, tetapi belum dibudidayakan secara
luas. A. madurense dan A. platyphyllum memiliki morfologi yang mirip dengan A.
lavenia, dilaporkan memiliki senyawa aktif berpotensi antibakteri. Hasil evaluasi
karakter morfologi mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan ciri morfologi pada
ketiga spesies Adenostemma. Panjang dan lebar daun, tinggi tanaman dan jarak antar
nodus dapat digunakan sebagai kriteria seleksi penting untuk menentukan jenis
Adenostemma tinggi kandungan fenolik dan flavonoid. Senyawa fenolik dan flavonoid
merupakan metabolit sekunder yang memiliki potensi antimikroba. A. lavenia
mengandung total fenolik dan total flavonoid tertinggi. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk memperoleh sediaan biofarmaka
Adenostemma yang tinggi kandungan fenolik dan flavonoidnya, untuk dimanfaatkan
sebagai pangan fungsional dan obat herbal.
Pada kajian potensi senyawa-senyawa diterpenoid kaurena sebagai antivirus
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) melalui pendekatan
in silico menunjukkan bahwa senyawa diterpena kaurena glikosida dan
adenostemmoside B memiliki aktivitas penghambatan terbaik terhadap protein SARS CoV-2 dan lebih tinggi dibandingkan obat antivirus seperti remdesivir dan favipiravir.
Simulasi dinamika molekul menunjukkan hampir semua kompleks ligan-protein stabil.
Analisis ADMET menunjukkan semua diterpenoid kaurena diserap oleh usus manusia
dengan baik, nonkarsinogenik, dan tidak menyebabkan mutasi pada DNA. Hasil studi
ini dapat menjadi informasi awal untuk penelitian lebih lanjut dalam pengembangan
obat antivirus baru.
Penelitian selanjutnya, hasil analisis profil metabolit ketiga spesies Adenostemma
dengan pendekatan metabolomik menggunakan LC-MS/MS menunjukkan 35 metabolit
berhasil diidentifikasi secara putatif. Hampir semua senyawa tersebut pertama kali
dilaporkan terkandung dalam Adenostemma. Analisis kemometrik berhasil
mengelompokkan metabolit yang berbeda diantara ekstrak, yang menunjukkan variasi
kimia yang signifikan di tiap spesies. Uji in silico antibakteri menunjukkan bahwa asam
dikafeoilkuinat memiliki afinitas pengikatan terbaik terhadap Staphylococcus aureus
UDP-GlcNAc 2-epimerase, pektolinarigenin terhadap Escherichia coli UDP-3O-(3-
hidroksimiristoil)glukosamin-N-asiltransferase, dan eriodiktiol 7-O-soforosida
terhadap Pseudomonas aeruginosa pyochelin sintase PchD. Simulasi dinamika
molekuler menunjukkan bahwa semua kompleks ligan-protein stabil. Pektolinarigenin
dan eriodiktiol 7-O-soforosida (flavonoid) diidentifikasi memiliki persentase luas
puncak kromatogram tertinggi pada A. lavenia, sedangkan persentase luas puncak asam
dikafeoilkuinat (fenolik) tertinggi di A. platyphyllum. Hasil analisis profil metabolit
Adenostemma tidak menunjukkan adanya senyawa asam ent-6-11-dihidroksi-15-okso 16-kauren-19-oat β-D-glukopiranosil ester dan adenostemmosida B yang memiliki
potensi antivirus SARS-CoV-2. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya tidak
dilakukan uji in vitro antivirus. Hasil analisis profil dan in silico menjadi dasar untuk
optimasi ekstraksi guna memperoleh ekstrak teraktif antibakteri secara in vitro.
Pada tahap akhir, ekstraksi serbuk simplisia daun A. lavenia dan A. platyphyllum
menggunakan metode Microwave Assisted Extraction (MAE) dan optimasi ekstraksi
menggunakan metode permukaan respon (Response Surface Methodology, RSM)
dengan desain eksperimen Box-Behnken Design. Didapatkan kondisi optimum ekstraksi
A. lavenia adalah pada konsentrasi etanol 75%, rasio simplisia terhadap pelarut 1:15,
dan waktu ekstraksi 3 menit. Kondisi optimum tersebut menghasilkan respon rendemen
15,89%, kandungan total fenolik 49,49 mg GAE/g ekstrak, kandungan total flavonoid
25,66 mg QE/g ekstrak, zona hambat terhadap S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa
berturut-turut, yaitu 7,01; 1,45; dan 2,52 mm. Kondisi optimum ekstraksi A.
platyphyllum adalah pada konsentrasi etanol 58%, rasio simplisia terhadap pelarut 1:7,
dan waktu ekstraksi 3 menit. Kondisi optimum tersebut menghasilkan respon rendemen
15,29%, kandungan total fenolik 42,84 mg GAE/g ekstrak, kandungan total flavonoid
28,82 mg QE/g ekstrak, zona hambat terhadap S. aureus, E. coli, dan P. aeruginosa
berturut-turut, yaitu 2,83; 1,62; dan 1,68 mm. Hasil verifikasi kondisi optimum yang
direkomendasikan menghasilkan respon yang sesuai prediksi dan metode yang
digunakan valid. Aktivitas antibakteri terbaik ditunjukkan oleh ekstrak A. lavenia
terhadap S. aureus, yaitu aktivitas sedang hingga kuat.
Hasil uji in vitro antibakteri tersebut sesuai dengan hasil prediksi in silico. Dengan
demikian, pendekatan metabolomik dan in silico mampu memprediksi bioaktivitas
antibakteri. Penelitian lebih lanjut perlu dikembangkan, diantaranya pengujian in silico
terhadap berbagai protein pada bakteri tersebut, dan melakukan isolasi senyawa target
pada Adenostemma untuk lebih menegaskan bioaktivitasnya., Adenostemma (known as legetan warak) is traditionally used as a herbal remedy
for diseases caused by bacteria, such as lung inflammation, pneumonia, fever, hepatitis,
inflammation, skin wounds, and oral health disorders. The isolated diterpenoid kaurene
compounds from Adenostemma lavenia have demonstrated the induction of Heme
Oxygenase (HO-1) antioxidant protein expression through the Nuclear Factor-E2-
Related Factor 2 (NRF2) transcription factor in mouse melanoma cells. This suggests
their potential as cellular targets for treating patients with Coronavirus Disease 2019
(COVID-19). However, there is limited research on the antimicrobial potential of
Adenostemma. Therefore, this study explored the antimicrobial potential, especially
antiviral and antibacterial properties, of three frequently studied Adenostemma species:
A. lavenia, A. madurense, and A. platyphyllum. This exploration employs metabolomic,
in silico, and in vitro approaches, along with extraction optimization. The research was
divided into five phases: (1) literature review on the genus Adenostemma, (2) evaluation
of morphological, phenolic, and flavonoid characteristics of the three Adenostemma
species, (3) in silico analysis for COVID-19 antiviral activity, (4) metabolite profiling
of the three Adenostemma species using metabolomic approaches and in silico
antibacterial analysis, and (5) extraction optimization for obtaining the most active
antibacterial extract in vitro.
A literature review on the genus Adenostemma revealed that A. lavenia, A.
madurense, and A. platyphyllum are the most studied and reported species. Some reports
on their chemical compounds and bioactivities, such as antioxidants, anti-inflammatory,
antimelanogenesis, and antitumor properties, have been published. However, their
antimicrobial bioactivity has not been reported. A. lavenia was found in several
provinces in Indonesia but has not been extensively cultivated. A. madurense and A.
platyphyllum, with morphological similarities to A. lavenia, were reported to contain
potentially antibacterial active compounds. Morphological character evaluation
exhibited differences among the three Adenostemma species. Leaf length and width,
plant height, and internodal distance were important selection criteria for determining
Adenostemma species with high phenolic and flavonoid content. Phenolic and flavonoid
compounds are secondary metabolites with antimicrobial potential. A. lavenia contains
the highest total phenolics and total flavonoids. The results of this research were
expected to be valuable information for obtaining Adenostemma biopharmaceutical
preparations with high phenolic and flavonoid content for use as a functional food and
herbal medicine.
The investigation into the potential of diterpenoid kaurene compounds as Severe
Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) antivirals through in silico
approaches showed that kaurene glycoside and adenostemmoside B had the best
inhibitory activity against the SARS-CoV-2 protein, surpassing established antiviral
drugs like remdesivir and favipiravir. Molecular dynamics simulations indicated the
stability of almost all ligand-protein complexes. ADMET analysis showed that all
kaurene diterpenoids are well-absorbed by the human intestine, non-carcinogenic, and
do not induce DNA mutations. These findings served as preliminary information for
further research in developing new antiviral drugs.
Subsequent research involved the analysis of metabolite profiles of the three
Adenostemma species using LC-MS/MS metabolomics. Based on these results, 35
putative metabolites were identified, many of which have not been previously reported
in Adenostemma species. Chemometric analysis revealed separate clusters for the three
species, confirming the substantial chemical differences between their extracts. In silico
antibacterial analysis showed that dicaffeoylquinic acid had the strongest binding for
Staphylococcus aureus UDP-GlcNAc 2-epimerase (PDB ID:5ENZ). Eriodictyol 7-O sophoroside and pectolinarigenin exhibited the best docking scores for Pseudomonas
aeruginosa pyochelin synthase PchD (PDB ID:7TYB) and Escherichia coli LpxD
acyltransferase (PDB ID:6P86) respectively. Molecular dynamics simulations revealed
that all ligand-protein complexes were stable. Pectolinarigenin and eriodictyol 7-O sophoroside (flavonoids) were identified with the highest peak area percentage in A.
lavenia, while caffeoylquinic acid (phenolics) has the highest peak area percentage in
A. platyphyllum. The profiling analysis did not show the presence of compounds such
as ent-6-11-dihydroxy-15-oxo-16-kauren-19-oic acid β-D-glucopyranosyl ester and
adenostemmoside B, which have potent SARS-CoV-2 antiviral properties. Therefore,
in vitro antiviral analysis was not carried out in the subsequent research. The profiling
and in silico analysis results served as a basis for extraction optimization to obtain the
most active antibacterial extracts in vitro.
In the final phase, powdered leaves of A. lavenia and A. platyphyllum was
extracted using microwave-assisted extraction (MAE), and extraction optimization was
performed using response surface methodology (RSM) with Box-Behnken design
experimental design. The optimal extraction conditions for A. lavenia were determined
to be 75% ethanol concentration, a 1:15 ratio of simplicia to solvent, and a 3-minute
extraction time. These conditions produced a yield of 15.89%, a total phenolic content
of 49.49 mg GAE/g extract, a total flavonoid content of 25.66 mg QE/g extract, and
inhibition zones against S. aureus, E. coli, and P. aeruginosa of 7.01, 1.45, and 2.52
mm, respectively. Meanwhile, the optimal extraction conditions for A. platyphyllum
were determined to be 58% ethanol concentration, a 1:7 ratio of simplicia to solvent,
and a 3-minute extraction time. These conditions produced a yield of 15.29%, a total
phenolic content of 42.84 mg GAE/g extract, a total flavonoid content of 28.82 mg QE/g
extract, and inhibition zones against S. aureus, E. coli, and P. aeruginosa of 2.83; 1.62;
and 1.68 mm, respectively. The verification of the recommended optimum conditions
showed that responses were consistent with predictions, validating the method used. The
A. lavenia extract demonstrated the best antibacterial activity against S. aureus
(moderate to strong activity).
The in vitro antibacterial results aligned with the in silico predictions,
demonstrating the predictive capability of metabolomics and in silico approaches for
antibacterial bioactivity. Further research is needed, including in silico analysis against
various proteins in these bacteria and the isolation of target compounds in Adenostemma
to confirm their bioactivity further.
Keyword:Adenostemma, antibakteri, antivirus, optimasi ekstraksi, profil metabolit, Adenostemma, antibacterial, antiviral, extraction optimization, metabolite profile | Judul: Antiproliferative and Antioxidant Compounds from Acacia auriculiformis and Acacia crassicarpa Woods
Abstrak:Eksplorasi senyawa aktif alami semakin banyak diminati seiring dengan perkembangan teknologi yang lebih maju dalam penemuan obat baru. Genus Acacia merupakan genus cepat tumbuh dan tersebar luas di dunia termasuk di Indonesia. Acacia auriculiformis dan A. crassicarpa adalah dua spesies Acacia yang ditemukan di Indonesia. Kedua spesies tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang baik dibandingkan 3 spesies lain (A. mangium, A. leucophloea, dan A. deccurens) pada studi sebelumnya. Informasi terkait pemanfaatan kayu teras dari kedua spesies sangat sedikit termasuk komponen senyawanya. Aktivitas yang baik dari kayu teras kedua spesies tersebut menunjukkan adanya kemungkinan potensi aktivitas lain yang berkaitan dengan antioksidan dan stress oksidatif yakni kanker. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi kayu teras dan komponen zat ekstraktif dari A. auriculiformis dan A. crassicarpa untuk pengembangan bahan baku obat.
Tahapan pengujian dalam penelitian dibagi menjadi tiga, yakni identifikasi senyawa secara metabolomik, prediksi senyawa bioaktif secara in silico, serta isolasi dan elusidasi senyawa bioaktif. Bagian daun, kulit, dan kayu teras diekstraksi dengan metanol dan diidentifikasi profil zat ekstraktif yang berkorelasi terhadap aktivitas antioksidan dan antiproliferasi melalui pendekatan metabolomik berbasis kromatografi cair spektrometri massa. Senyawa hasil prediksi metabolomik selanjutnya dipilih lebih lanjut menggunakan penautan molekul secara in silico. Senyawa yang terprediksi berdasarkan dua pendekatan tersebut dijadikan sebagai senyawa target dalam isolasi dan elusidasi struktur molekulnya. Tiga uji antioksidan in vitro yang digunakan adalah radikal 2,2-difnil-1-pikrilhidrazil, radikal 2,2'-azino-bis(asam 3-etilbenzotiazolina-6-sulfonat) dan kemampuan reduksi dengan uji ferric reducing antioxidant power. Sel kanker yang digunakan dalam uji antiproliferasi adalah sel kanker kolon (WiDr) dan payudara (MCF-7). Elusidasi struktur molekul pada isolat senyawa menggunakan spektrometri massa dan resonans magnetik inti.
Ekstrak kayu teras memiliki potensi terbaik dibandingkan ekstrak lainnya. Kayu teras A. crassicarpa memiliki aktivitas antioksidan terbaik serta antiproliferasi terbaik. Selain itu, kayu teras A. auriculiformis menunjukkan potensi antioksidan yang baik dan antiproliferasi yang cukup baik. Profil zat ekstraktif yang dikaitkan dengan aktivitas antioksidan dan antiproliferasi pada pendekatan metabolomik mengidentifikasi senyawa penanda dengan korelasi tinggi berupa senyawa flavonoid serta turunannya berupa flavonoid termetilasi. Senyawa-senyawa ini berhasil diidentifikasi secara tentatif dan memiliki bobot molekul dengan kisaran 272–320. Secara kelimpahan, senyawa-senyawa penanda ini banyak terdapat di bagian kayu teras
Analisis penautan molekul secara in silico berhasil memprediksi senyawa-senyawa dengan aktivitas penautan terbaik terhadap 3 reseptor kanker kolon, 3 reseptor kanker payudara, dan 2 reseptor stress oksidatif. Senyawa dengan potensi terbaik untuk kanker kolon adalah 3',4',7,8-tetrahidroksiflavanon, 7-O-glukosida kuersetin, dan 3-(3,4-dihidroksibenzil)-7-hidroksichroman-4-on. Senyawa dengan potensi terbaik untuk kanker payudara adalah auriculosida dan 3-(3,4-dihidroksibenzil)-7-hidroksichroman-4-on. Sementara itu, senyawa dengan potensi terbaik untuk stress oksidatif adalah 7-O-glukosida kaempferol dan cis-3,4’,7,8-tetrahidroksiflavanon. Penentuan senyawa dengan potensi terbaik dari A. auriculiformis dan A. crassicarpa menghasilkan senyawa dengan bobot molekul 272, 286, 288 dan 290 Da (flavonoid) dari kayu teras A. auriculiformis serta senyawa dengan bobot molekul 288, 300, 302, dan 316 Da (flavonoid dan flavonoid termetilasi) dari A. crassicarpa menunjukkan potensi penautan yang baik terhadap reseptor kanker dan stress oksidatif.
Isolasi dan elusidasi senyawa menghasilkan 6 isolat senyawa dari kayu teras A. auriculiformis dan 7 isolat senyawa dari A. crassicarpa. Beberapa senyawa tersebut merupakan senyawa yang telah ditargetkan sebelumnya dengan melihat bobot molekul dari puncak kromatogram. Senyawa tersebut adalah (E)-3-(4-hidroksifenil)-1-(2,3,4-trihidroksifenil)prop-2-en-1-on (272 Da) serta teracacidin (290 Da), 3,4’,7,8-tetrahidroksiflavanon (288 Da), dan 4’,7,8-trihidroksiflavon (286 Da) dari kayu teras A. auriculiformis serta (E)-3-(3,4-dihidroksifenil)-1-(2,3,4-trihidroksifenil)prop-2-en-1-on (288 Da), 3’,4’,7,8-tetrahidroksiflavanon (288 Da), 3’,4’,7,8-tetrahidroksiflavonol (302 Da), dan 3-O-metil-3',4',7,8-tetrahidroksiflavon (316 Da) dari kayu teras A. crassicarpa. Terdapat tujuh senyawa yang untuk pertama kalinya diidentifikasi di kedua jenis kayu teras tersebut berupa senyawa kalkon, flavonoid termetilasi, dan biflavonoid. Secara umum, semua isolat senyawa memiliki aktivitas antioksidan yang sangat baik dibandingkan asam askorbat dan troloks, serta beberapa isolat memiliki aktivitas antiproliferasi yang juga baik dibandingkan dengan kontrol positif (capecitabine)., Exploration of natural active compounds is increasingly in demand along with more advanced technological developments in the discovery of new drugs. The Acacia genus is a fast-growing genus and is widely distributed in the world, including in Indonesia. Acacia auriculiformis and A. crassicarpa are two Acacia species found in Indonesia. These two species had good antioxidant activity compared to the other 3 species (A. mangium, A. leucophloea, and A. deccurens) in the preliminary study. There is limited information regarding the utilization of heartwood from the two species including their phytochemical components. The good activity of the heartwood of the two species indicates the possibility of other potential activities related to antioxidants and oxidative stress, namely cancer. Therefore, the purpose of this study was to identify the potential of heartwood and extractive components from A. auriculiformis and A. crassicarpa for the development of medicinal raw materials.
The stages of testing in this research were divided into three, namely identification of compounds using metabolomic approach, prediction of bioactive compounds using in silico approach, and isolation and elucidation of bioactive compounds. The leaves, barks and heartwoods were extracted with methanol and the potent extractive compounds as antioxidant and antiproliferative were identified using a liquid chromatography mass spectrometry based metabolomic. Marker compounds resulting from metabolomic predictions were further selected using in silico. The predicted compound based on the two approaches was used as the target compound in the isolation and elucidation of its molecular structure. Three in vitro antioxidant tests used were 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl radicals, 2,2'-azino-bis(3-ethylbenzothiazoline-6-sulfonic acid) radicals and reducing ability with the ferric reducing antioxidant power assay. The cancer cells used in the antiproliferation test were colorectal (WiDr) and breast (MCF-7) cells. The molecular structures of isolated compounds were elucidated using mass spectrometry and nuclear magnetic resonance.
Heartwood extracts have the best potential compared to other extracts. A. crassicarpa heartwood possessed the best antioxidant and antiproliferative activity. In addition, the heartwood of A. auriculiformis showed good antioxidant and antiproliferative activity. The predicted extractive compounds with antioxidant and antiproliferative activities in the metabolomics were dominated with flavonoid and their derivatives (methylated flavonoids). These compounds were tentatively identified and had molecular weights in the range of 2720]]–320 Da. Based on the relative abundance, these marker compounds were dominantly found in the heartwood.
In silico molecular docking analysis succeeds in predicting the compounds with the best binding activity against 3 colorectal cancer receptors, 3 breast cancer receptors, and 2 oxidative stress receptors. Potent compounds for inhbiting the colorectal cancer receptors were 3',4',7,8-tetrahydroxyflavanone, 7-O-glucoside quercetin, and 3-(3,4-dihydroxybenzyl)-7-hydroxychroman-4-one. Potent compounds for inhbiting the breast cancer receptors were auriculoside and 3-(3,4-dihydroxybenzyl)-7-hydroxychroman-4-one. Meanwhile, Potent compounds for inhbiting the stress oxidative receptors were 7-O-glucoside kaempferol and cis-3,4',7,8-tetrahydroxyflavanone. Potent compounds from A. auriculiformis had molecular weights of 272, 286, 288 and 290 Da (flavonoids). Meanwhile, potent compounds from A. crassicarpa consisted of compounds with molecular weights of 288, 300, 302 and 316 Da (flavonoids and methylated flavonoids). These compounds were used as the compound target for isolation and elucidation.
Isolation and elucidation stage yields 6 isolated compound from A. auriculiformis heartwood and 7 isolated compounds from A. crassicarpa heartwood. Some of these compounds were the compound which previously targeted (based on in silico prediction) by looking at the molecular weights from the peaks of the chromatograms. These compounds were (E)-3-(4-hidroxyphenyl)-1-(2,3,4-trihydroxyphenyl)prop-2-en-1-on (272 Da) and teracacidin (290 Da), 3,4',7,8-tetrahydroxyflavanone (288 Da), and 4',7,8-trihydroxyflavone (286 Da) from the heartwood of A. auriculiformis and (E)-3-(3,4-dihidroxyphenyl)-1-(2,3,4-trihydroxyphenil)prop-2-en-1-on (288 Da), 3',4',7,8-tetrahydroxyflavanone (288 Da), 3',4',7,8-tetrahydroxyflavonol (302 Da), and 3-O-methyl-3',4 ',7,8-tetrahydroxyflavone (316 Da) from the heartwood of A. crassicarpa. There were seven compounds identified for the first time in both types of heartwood, namely chalcone compounds, methylated flavonoids, and biflavonoids. In general, all of the isolated compounds had very good antioxidant activity compared to ascorbic acid (vitamin C) and trolox, and some isolated compounds had good antiproliferative activity compared to the positive control (capecitabine).
Keyword:elusidasi, flavonoid, in silico, in vitro, isolasi, metabolomik | Judul: Budget deficits, government debt and fiscal sustainability: application of vector error correction model
Abstrak:Buruknya kinerja deficit anggaran dan utang perintah sejak krisis ekonomi telah membuat kondisi fiscal menjadi unsustainab;e. Indikatornya, pemerintah tidak mampu membayar angsuran pokok utang dari sumber dananya sendiri melainkan dari penarikan pinjaman baru. Pemerintah cenderung membiarkan saja defisit terjadi dan membiayainya melalui pinjaman baru. Hal ini membuat ketergantungan deficit utang menjadi sangat tinggi. Sehingga untuk mengatasinya, pada saat yang sama harus mengatasi utang dan sebaliknya. Seandainya tingkat ketergantungan kedua variable tersebut tidak setinggi kenyataannya, upaya mengatasi kedua masalah tersebut akan jauh lebih mudah.
Keyword: |
Judul: Four Essays on Optimal Sustainable and Shariah Investment in Indonesia
Abstrak:Sustainable Responsible Investment (SRI) is expected to provide not only financial and social impact but also sustainable benefits in the long run. An investor must consider between the fund performance and volatility in a crisis. This study will try to fill the above-mentioned gaps focusing on how sustainable and Shariah investment in Indonesia can achieve the SDGs by developing various strategic options to optimize the portfolio model from 2009 to 2020. The first essay aims to compare the performance with the ratio of Sharpe versus Coefficient Variance (CV) and to estimate the determinants and correlations between the return and volatility of SRI and Shariah considered to be another kind of ethical index. The framework also applies the ARIMA model and the volatility- asymmetric model with additional exchange rate and crisis-period data to determine the return and volatility of each index, which is generalized by the Asymmetric E- GARCH. The study showed that only SRI-KEHATI and LQ45 were affected by the highest volatility during the Covid-19 crisis. The impact of the exchange rate and the consequences of the recession on yields and uncertainty is insignificant on Sharia, which is applicable to the high-risk and high-return theory. The second essay discusses the reaction of mixture variables to the ESG Index in Indonesia's business climate since Environmental, Sustainable Governance (ESG) as another perspective of the Sustainable Responsible Investment Index (SRI) is on a global trend. The VAR VECM model was used to research the relationship between the ESG and other endogenous variables: Dow Jones index, Fed rate, JCI index, exchange rate, and BI-rate. The market-based impact analysis on Indonesia's SRI Index will not only benefit investors' portfolio and risk management plans, but will also have significant implications for regulators, in particular the Financial Services Authority (FSA or OJK) of Indonesia and the Bank of Indonesia. The third essay reveals that SRI-KEHATI has the highest average risk and return among others. It also demonstrates that SRI-KEHATI is ideally suited to gain financial, social and ethical returns at the same time. We also find from the Mann- Whitney and Kruskal-Wallis U test that one of the reasons for the success of SRI- KEHATI is the major allocation to the four major banks. There is a significant difference between SRI-KEHATI and the results of the four banks that have been market movers all the while, so investors can choose a cherry pick approach that focuses on those stocks instead. The fourth essay innovates the replacement of the SRI-KEHATI and JII index members with two Islamic bank stocks shown that their performance is superior with manageable risk. The return of the Shariah SKEHATI index is higher than the return of the previous SRI-KEHATI index with a lower standard deviation. This also means that two Islamic banks boost return and remove mafsadat, purifying the SRI-KEHATI Index to become more Sharia. The addition of two Islamic bank stocks in the Jakarta Islamic Index has raised the return, variance, and standard deviation in the same Shariah universe. Granger Causality's results concluded that Shariah is significantly the leading predictor and clear superiority as JII is continuously Granger caused SRI-KEHATI and modified SRI-KEHATI, whereas the modified JII only affects the modified SRI-KEHATI. These results are the signals of improvements towards achieving SDGs.
Keyword:equity, shariah, stability, sustainable responsible investment, volatility | Judul: Pengaruh Lingkungan, Sosial, Tata Kelola terhadap Keputusan Investasi dan Kinerja Saham di Indonesia pada Periode Pandemi
Abstrak:Indonesia merupakan negara yang peduli akan adanya isu pemanasan global dan permasalahan lingkungan, sehingga untuk mengurangi permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonomi hijau (green investment). Wujud kesungguhan pemerintah dalam hal mewujudkan investasi bertanggungjawab sosial dan lingkungan di pasar modal Indonesia, Bursa Efek Indonesia bekerjasama dengan Yayasan KEHATI menerbitkan green index bernama Indeks Saham Sustainable and Responsible Investment (SRI-KEHATI) yang diluncurkan pada tanggal 8 Juni 2009. Pada Desember 2020 Bursa Efek Indonesia kembali mengeluarkan indeks saham yang berpedoman pada prinsip Environmental, Social dan Governance (ESG), yang diberi nama indeks saham ESG Leaders. Kinerja indeks SRI-Kehati dan ESG Leaders menunjukkan bahwa kinerja yang lebih baik baik daripada indeks IHSG secara keseluruhan dan indeks LQ45. Berdasarkan latar belakang tentang pentingnya melihat faktor Environmental, Social, dan Governance (ESG) oleh seorang investor dalam pengambilan keputusan investasinya, serta mempertimbangkan faktor fundamental perusahaan berupa kinerja keuangan dan faktor makroekonomi pada penilaian kinerja saham. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis pengaruh ESG score, kinerja keuangan perusahaan, dan faktor makro ekonomi terhadap kinerja saham ESG pada periode sebelum dan selama terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia; mengidentifikasi profil demografi investor yang menginvestasikan di saham kategori ESG dan menganalisis perbedaan demografi investor saham ESG dan Non-ESG; serta menguji dan menganalisis pengaruh faktor Environmental, Social, Governance, dan tujuan investasi terhadap keputusan investasi serta menguji dan menganalisis fungsi moderasi rentang waktu investasi pada pengaruh faktor Environmental, Social, dan Governance terhadap keputusan investasi. Penelitian ini adalah experiment dan explanatory research. Sampel penelitian adalah sebanyak 415 invertor dan 26 perusahaan dari 26 perusahaan non-bank yang terdaftar pada indeks Sri Kehati dan IDX ESGLeaders pada tahun 2015 hingga 2020. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari penyebaran kuesioner kepada investor pasar saham Bursa Efek Indonesia. Data sekunder yang digunakan berupa data skor ESG, laporan keuangan perusahaan, makroekonomi, dan harga saham perusahaan. Dalam penelitian ini terdapat 3 model penelitian, yang pertama adalah model yang menunjukkan pengaruh variabel ESG score, kinerja keuangan perusahaan, dan faktor makro ekonomi terhadap kinerja saham ESG pada periode sebelum dan selama terjadi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Model kedua menunjukkan pengaruh variabel profil demografi investor terhadap keputusan investasi pada saham ESG dan Non-ESG. Model ketiga adalah menunjukkan pengaruh faktor Environmental, Social, Governance, tujuan investasi, dan fungsi moderasi rentang waktu investasi terhadap keputusan investasi. Metode penelitian yang digunakan dalam model pertama menggunakan Regresi Panel, model kedua adalah Chi-Square test, serta model ketiga menggunakan metode Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya variabel Debt to Equity Ratio yang berpengaruh positif signifikan terhadap return saham, sedangan variabel skor ESG, Return on Asset, ukuran perusahaan, tingkat perubahan harga mata uang rupiah terhadap dollar AS, suku bunga, inflasi, perubahan harga minya dunia, pertumbuhan produk domestic bruto, dan periode pandemi covid-19 di Indonesia tidak berpengaruh terhadap return saham. Faktor demografi, usia, pendidikan terakhir, pendapatan, dan pekerjaan berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan investasi. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara investor saham ESG dan non-ESG. Faktor gender tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara investor saham ESG dan non- ESG. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan investasi pada saham ESG atau non-ESG, investor pria dan wanita memiliki varians yang sama. Investor pria dan wanita memiliki persentase kepemilikan saham ESG yang sama jika dibandingkan dengan saham non-ESG. Investor, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kebijakan pengambilan keputusan investasi yang juga memperhatikan faktor ESG. Hasil penelitian ini memberikan gambaran profil demografis investor yang berminat saham ESG di Bursa Efek Indonesia dan memberikan analisis perbedaan investor saham ESG dan non-ESG berdasarkan faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, pendapatan, dan pekerjaan investor. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan investasi seorang investor pada saham-saham berindeks ESG adalah faktor isu tata kelola (governance), isu lingkungan (environmental) dan sosial (social). Tujuan investasi investor baik dengan tujuan mendapatkan capital gain dan mendapatkan dividen juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan investasi investor. Variabel jangka waktu investasi baik jangka waktu pendek, menengah dan panjang terbukti secara signifikan memengaruhi keputusan investasi investor. Kebaruan penelitian (novelty) penelitian ini adalah penelitian ini mendeskripsikan profil demografi investor yang melakukan investasi saham pada indeks kategori ESG di pasar modal Indonesia, menggunakan variabel investment horizon sebagai rentang waktu investasi jangka panjang, jangka menengah, atau jangka pendek dalam memoderasi hubungan antara variabel faktor ESG dan pengambilan keputusan investasi saham, menggunakan variabel periode investasi sebelum dan saat terjadinya pandemi COVID-19 di Indonesia sebagai variabel kontrol keputusan investasi saham.
Keyword:Indonesia, Lingkungan, Pandemi, Sosial, Tata Kelola, Environmental, Governance, Indonesia, Pandemic | Judul: Detection system development using camera for lemon orange (Citrus Medica) manipulator
Abstrak:This research aim to develop detection system using charged coupled device (CCD) camera as a censor that the results are expected to be used by manipulator of the lemon fruit harvesting robot. To achieve the purpose, the research was made to develop detec tion algorithm of lemon fruit, formula developing of object three dimensional position, and experiment determination of three dimensional lemon position on the plants.
Keyword: |
End of preview. Expand
in Dataset Viewer.
null
- Downloads last month
- 30